Kardus paket ini mewakili keseharian kita. Menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia. Itu merupakan masalah bagi saya? Tidak.
Khusus untuk peringatan “fragile“, mau pakai bahasa apa pun asalkan ada ikon gelas retak semua orang tahu itu barang pecah belah — bukan beli belah (diskon, korting).
Apakah peringatan tersebut kemudian diindahkan — berarti sebetulnya tidak indah? — nah… itu soal lain.
Ihwal bahasa Indonesia, saya masih terus belajar. Pekerjaan saya banyak menulis sehingga mau tak mau harus belajar, dan itu tak terbatas hanya dalam perkara ejaan.
Akan tetapi untuk bahasa formal, terutama produk tekstual pemerintah, dan wacana pejabat publik, sudah semestinya berbahasa nasional yang layak. Sebagai lontaran lisan pralegislasi, boleh saja menggunakan kata “omnibus law” (atau “omnibus bill“?), namun setelah itu ya RUU Cipta Kerja*.
Saya terus belajar berbahasa Indonesia bukan karena bahasa Inggris saya lancar. Bahasa Inggris pasif tertulis saja saya merangkak, apalagi lebih dari itu. Saya tak malu mengakui hal itu, namun saya heran terhadap orang yang lebih malu kalau salah dalam berbahasa Inggris, lalu nyengèngès plirak-plirik ketika ada orang asing bisa berbahasa Indonesia lebih bagus ketimbang dirinya.
Selamat hari Sumpah Pemuda. Indonesia adalah sebuah belanga besar berbanyak bahan dan bumbu, bahkan nama Indonesia pun dari luar kepulauan Indonesia sekarang (dan sekitarnya) yang kita yakini sebagai Nusantara zaman dahulu.
*) Oh ya, sampai pagi ini status barang itu masih merupakan RUU yang disetujui DPR, belum menjadi UU karena presiden belum mengesahkan, dan Menkumham belum menetapkan sebagai UU. Pun belum berlaku otomatis karena tenggat 30 hari terlampaui.
2 Comments
kalo yang suka ngomong campur-campur Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sering dibilang anak jaksel.. which is mungkin banyak yang speaking english mungkin ya, paman.. I don’t know the reason tapi kenyataannya begitu..
Really eh tenané?