Bukti transfer berupa kertas sudah siap, tinggal kami serahkan ke Mbakyu Sayur karena dia siap menerima non-tunai. Kenapa tak kirim tangkapan layar via WhatsApp? Dia masih pakai ponsel biasa. Saya pun tak harus ke ATM di Jalan Raya Kodau, baik dengan berjalan kaki maupun bersepeda memintas jalan tikus.
Dengan setruk hasil mencetak sendiri, dia dan kami sama-sama yakin ada deposit buat belanja pagi saat dia lewat mendorong gerobak sayurnya.
Kualitas cetak ya gitu deh
Memang sih, gambar hasil printer termal Bluetooth untuk kasir ini tak memuaskan. Dia hanya cocok untuk mencetak teks biasa dan berkas bereketensi prn. Tapi bagi saya keluaran macam ini lumayan karena urusan usan bayar membayar selalu via ponsel.
Saya ke ATM untuk ambil duit. Kalau harus menstransfer dan membayar ini-itu akan merepotkan saya sendiri maupun terlebih para pengantre.
Sekarang dengan adanya wabah Covid-19, pergi ke ATM saya kurangi. Uang tunai dalam dompet saya jaga. Sudah sedikit eh masih masih terkuras pula, tentu sungguh tak nyaman. Lebih dari sekali ketika Mbakyu Yakult datang – sebelum dia prei karena pembatasan – saya tak punya uang tunai.
Saya bukan pria iseng
Kenapa saya sampai punya printer kasir? Bukan lantaran iseng tapi terpaksa.
Bermula dari iuran di sebuah lembaga yang memberi kesempatan pembayaran melalui transfer tapi pengiur harus menyerahkan setruk bukti transfer. Jelas merepotkan kalau saya menstransfer dari ponsel.
Maka sebulan lalu saya beli printer kasir ini selagi ada diskon. Tak sampai Rp300.000. Kebetulan ini niat lama yang saya tunda terus eksekusinya.
Saat itu saya memperhitungkan, kalau pagebluk Covid-19 kian menjadi, sehingga orang harus di rumah, tak semua penerima pembayaran siap dengan bukti transfer yang saya kirim via ponsel. Padahal saya tak punya printer lagi, baik inkjet maupun laser.
Sekarang terbukti. Punya printer saku – kalau pakai celana kargo – ini memberi faedah. Nggak maju amat sih, karena masih memerlukan hard copy. Tapi juga nggak buruk nian.