Jika hujan keterlaluan, toko pracangan itu kemasukan air dari jalan, padahal sang empunya sudah membuat tanggul di depan pintu. Yang pasti setiap habis kebanjiran toko itu kembali rapi. Karung beras selalu di atas panggung rendah kayu agar tak tertulari lembap lantai maupun terlebih-lebih dijamah banjir.
Si pemilik toko, seorang Cina Bangka, yang sekarang bisa satu dua kata bahasa Jawa karena, “Menantu saya orang Jawa, bukan Cina dari Jawa Tengah”, adalah pria bersahaja yang cekatan. Dia lebih sering berkaus oblong putih kodian ala babah. Dalam usia sekitar 60 dia masih kuat membawa galon Aqua (isi, bukan kosong) hanya dengan menenteng lehernya pakai satu tangan untuk dia masukkan ke mobil pelanggan. Lengannya kencang. Perutnya tidak tambun.
Toko empat kali empat meter, yang berantai semen, dan merupakan rumah kontrakan, itu lengkap. Om, demikian saya menyapa, menata beraneka barang dengan rapi dan efisien. Dia bilang, barang tertata rapi, secara terkelompok, akan mempermudah urusan.
Lalu dia kasih contoh dengan mengambil dua botol minyak goreng ukuran 250 ml. Dia taruh di meja kasir yang sempit. Jika kedua botol dipepetkan berdiri di pojok meja, masih ada sisa ruang untuk lainnya, terutama tangan dan kertas berikut alat tulis serta kalkulator. Tapi jika asal taruh, satu di tengah, yang lain agak minggir, bidang meja menjadi kurang optimal. “Saya sering negur istri kalo dia nggak rapi narok barang,” katanya.
Setiap kali lewat sana, apalagi berbelanja, saya selalu terkesan pada penataan barang. Kalau barang bergelantungan jadi tirai, warung lain juga melakukan, tapi umumnya tidak rapi. Salah satu warung langganan saya, dua setengah kali lebih luas, sejauh lima ratus meter dari sana, mencampur aneka dagangan sembarangan sehingga anaknya kadang butuh waktu untuk menemukan apa yang akan dibeli orang. Bahkan rak kaca berangka alumunium pun berisi aneka rupa barang jungkir balik.
“Asal kita mau, rapi itu mudah,” katanya sembari tertawa kecil.
Toko itu tak lagi seperti toko lawas karena pintu papan kayu copotan untuk dijejerkan sudah berganti pintu lipat. Namun ada satu hal yang tetap terasa jadul dan bersahaja, seperti toko di daerah: pada jam makan siang dan siesta tutup. Buka lagi pukul empat sore sampai pukul delapan.