Kita kadang tak menghormati doa bahkan oleh kaum kita sendiri dalam resepsi dan penguburan. Kalau pun tak ikut berdoa, diam itu baik, syukur kalau khidmat.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Pertama-tama kita panjatkan puji syukur… dst. Anda sudah tahu kelanjutannya.

Tuturan itu, secara lisan maupun tertulis, sering Anda dengar dan baca. Terucapkan dalam pidato rapat RT hingga yang lebih tinggi dan akbar. Termaktubkan dalam skripsi hingga pengantar buku.

Saya percaya, pengucap dan penulis tuturan itu religius. Selalu ingat Tuhan. Dan selalu bersyukur. Semoga para pendengar dan pembaca juga.

Setiap ajakan saleh adalah pengingat nan mulia kepada sesama untuk merawat kehidupan bersama. Kita harus bersyukur karena selalu ada orang yang mengingatkan hal itu.

Hal serupa berlaku untuk Alhamdulilah dan Puji Tuhan, atau Thank God, dalam banyak percakapan. Pasti hal itu diucapkan dari hati. Penuh syukur.

Perihal salam

Selain ucapan puji syukur, kini makin banyak orang mengucapkan salam secara komplet, sesuai sejumlah kelaziman keagamaan tertentu. Di dalamnya ada harapan baik.

Namun dalam perjalanan waktu hal itu dipersoalkan. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh untuk siapa dan diucapkan oleh siapa?

Menarik membaca opini Rasio Rachman dalam Kompas.id, 30 Oktober 2019, perihal salam. Dia menyoal tak adakah salam mengindonesia yang inklusif?

Doa dalam aneka acara

Begitulah. Kita memang bangsa religius. Banyak acara melibatkan doa. Dalam resepsi pernikahan, sebagai acara profan, juga ada. Kadang lengkap dengan tauziah dan khotbah untuk hadirin yang beragam latar.

Tapi, ya tapi, maaf nih. Kenapa misalnya dalam pesta pernikahan tak semua hadirin menyimak dengan takzim terhadap doa?

Apa pun latar keagamaan doa yang sedang dilantunkan selalu saja ada orang — tak semua, tentu — yang asyik ngobrol, bahkan bersenda gurau?

Bahkan ada yang ketawa-ketiwi, kadang juga cipika-cipiki, sementara doa atau tauziah dan khotbah sedang berlangsung. Ada dengung yang menyebar.

Misalkan pun doa dan ceramah itu tak sesuai dengan latar religi yang melekat dalam diri, menurut saya ada baiknya jika setiap orang bersikap khidmat. Minimal dengan diam.

Tak hanya dalam pesta. Dalam pelayatan dan upacara penguburan pun ada saja yang cuek. Ngobrol. Berteleponan. Ketawa kecil. Tanpa menjauh dari kerumunan sekitar liang lahat. Padahal sedang ada pidato melepas almarhum dan pengucapan atau pembacaan doa.

Beberapa kali kalau suara tak peduli itu sudah keterlaluan selalu ada “stttt…” dari hadirin lain yang terganggu.

Tadi siang, saat upacara adat dan keagamaan menjelang kremasi, sekelompok orang beratribut komunal yang sama dengan keluarga almarhumah ditegur karena cekikikan. Suara mereka terdengar oleh hadirin yang tak berada di depan ruang di rumah duka.

Kenapa bisa terjadi?

Saya tak tahu jawabannya, karena saya bukan orang yang tergolong religius. Atau dalam istilah sopan: kurang religius.

Tapi saya tahu, bangsa ini senang disebut bangsa religius.

Foto: Thomas Mühl/Pixabay.com