↻ Lama baca 2 menit ↬

antyo-koran-tempo-2014Satu gedung, dua nama, tiga babak sejarah. Metropole 21 dan Megaria 21. Kedua foto bioskop itu muncul di halaman depan dan dalam Koran Tempo, Minggu 12 Juli 2015. Ada ruap arsip dalam kedua foto tersebut.

Pada Metropole 21 hasil jepretan Ali Said, ada rasa Ibu Kota tiga dasawarsa silam: Colt Station, Toyota Corolla, dan tiga pemuda dengan potongan rambut dan celana 1980-an (baggy jeans, sepatu sport putih). Mau lebih lengkap? Baliho film: Djakarta 1966 (Arifin C. Noer, 1982).

Adapun Megaria 21 hasil bidikan Arif Ariadi memberikan aroma lama. Judul film dalam baliho pun mendukung: Ada Apa dengan Cinta? (Rudi Soedjarwo, 2001). Dalam Tempo Store, foto itu bertarikh 12 Februari 2002.

Ini bukan bahasan soal film ataupun arsitektur bioskop. Ini soal nama. Dari Metropole (1932), jadi Megaria (1960), lantas kembali menjadi Metropole (2007). Megaria pernah menjadi pilihan nama pada era Sukarno, sehingga dinilai lebih meng-Indonesia.

Ah, apa pula itu nama meng-Indonesia? Ini perbualan yang melelahkan. Apalagi Alif Danya Munsyi (Remy Sylado) pernah menulis 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing (2003).

Kini, lihatlah nama-nama menara apartemen dan perkantoran. Banyak yang beraroma asing, atau gabungan antara lokal dan asing. Di Jakarta, ada Sampoerna Strategic Square (dulu: Wisma Anggana Danamon), Four Winds of Senayan, Gayanti City, Mangkuluhur City Office, Tamansari Hive, The Bloomington, Regatta, L’Avenue, La Maison… Begitu pun dengan nama usaha, sejak kedai makanan sampai busana. Di kota-kota lain juga demikian.

Mengganggukah nama-nama itu? Bagi saya tidak. Bahwa pertumbuhan properti sangat pesat, sehingga sopir taksi dan kurir kebingungan mencari alamat dan mengingat tetenger, itu lain soal. GPS toh akan membantu. Minimal GPS dalam arti “guided by penduduk setempat”.

Ada masa ketika nama-nama asing terpaksa dihindari. Rujukannya: Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 434/1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing. Edaran itu diterbitkan untuk menyambut 50 tahun Indonesia merdeka.

Akibatnya, sejumlah nama usaha menyesuaikan diri. Toko roti Delicious sempat menjadi Delisius, dan Suisse sempat menjadi Suis. Adapun nama-nama niaga asing dari mancanegara, yang tak tercakup oleh pengindonesiaan, tetap tenang. Lelucon bilang, Bangkok Bank sudah meng-Indonesia jika dilafalkan secara Jawa: “Bank kok bank“.

Setelah reformasi, nama-nama asing bermunculan. Bisa berupa jenama baru, dan bisa juga jenama lama yang kembali ke nama aslinya. Delisius kembali ke Delicious, Suis kembali ke Suisse, dan Megaria kembali ke Metropole.

Bagi orang media, perubahan nama itu terkadang membingungkan. Pondok Indah Mall atau Mal Pondok Indah? Kop surat pengelola masih menggunakan nama Mal Pondok Indah, namun surat edaran tertanggal 29 April 2010 ditujukan kepada “Seluruh Penyewa Pondok Indah Mall”.

Biarkan saja nama-nama asing itu. Lidah lokal bisa menaklukkan sebagian darinya. Gandaria City jadi Gancit. Cibubur Junction jadi Cibujang. Botani Square jadi Boker.

Kalau nama Agnes Monica dianggap kurang meng-Indonesia, bagaimana dengan nama Abubakar Ali?

Antyo Rentjoko dalam Koran Tempo, Selasa 21 Juli 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *