MASYARAKAT KITA MENYUKAI PEMAKSAAN | Gang ini masih bisa dimasuki sedan mungil dan mikrobus sejenis Suzuki Carry. Memang bisa bikin repot saat mobil berpapasan apalagi jika orang luar kampung ikut memanfaatkan jalan. Maka cara untuk mencegahnya adalah memasang pintu separuh: dengan engsel tegak (portal membuka-tutup horizontal, bukan vertikal) dan gembok portalnya mudah dibuka tutup oleh yang berhak. Kreatif. Silakan Anda tiru.
Sudah jelas ceritanya, bukan? Kita bisa meniru ide itu namun kita sudah malas mempertanyakan kenapa kita harus memasang portal dalam permukiman. Coba ketika warga membahas rencana portal, dan juga polisi tidur, lalu Anda mempertanyakannya, bisa dijamin ada sorot mata aneh dari hadirin lain.
“Mangsud daripada sampean apa? Ini kan demi ketertiban,” begitu kira-kira. Jika Anda menyebut pemasangan polisi tidur dan portal itu berpeluang melanggar hukum, mungkin saja muncul sanggahan, “Halah, di kompleks polisi dan kompleks pemda juga ada polisi tidur dan portal.”
Rambu hanya hiasan
Masalah dari semua “swadaya-swakarsa anarkistis” itu adalah kita tak percaya lagi kepada rambu dan kepatutan tak tertulis. Percuma memasang rambu batas kecepatan 10km/jam, juga hampir sia-sia berharap setiap pengendara tahu diri bahwa menggelindingkan roda di tengah kampung dan kompleks itu mestinya pelan.
Kita semua tahu dan menyaksikan, dengan polisi tidur dan rambu saja setiap hari ada sepeda motor maupun mobil yang mencoba kencang bila dibandingkan kelas jalan. Motor dan mobil itu bisa jadi milik akamsi, anak kampung sini, alias orang dalam.
Kalau jarak antar-polisi-tidur renggang, katakanlah 30 meter lebih, ada ruas pendek untuk menambah kecepatan. Entah kenapa. Kalau alasannya karena terburu-buru harus segera sampai di rumah setelah menempuh perjalanan panjang yang mengesalkan, ah tampaknya berlebihan. Ketika berangkat kerja atau lainnya, penggemar gas-gasan juga cenderung kencang – karena harus segera tiba di tempat tujuan?
Hal sama berlaku untuk rambu “verboden” (bahasa Belanda untuk bahasa Inggris “forbidden” dan “prohibited“). Pada beberapa permukiman, pelat bundar merah dengan tanda minus putih itu sering dilangar oleh… akamsi juga. Pengertian “anak” dalam akamsi tak bertaut dengan usia. Anak 11 tahun dan kakek 77 tahun sama, berpeluang melanggar “verboden“.
Ketika orang dalam melanggar, kuranglah kekuatan rambu untuk dihormati. Orang luar tinggal mengikuti. Persoalan penegakan hukum di Indonesia, yang sering diledek “low enforcement” bukan “law enforcement“, adalah nlai-nilai sosial dalam kerangka salah kaprah. Kalau orang lain melanggar dan tak dipersoalkan berarti kita boleh menirunya.
Simbol tak lagi bermakna, pakailah upaya pemaksa
Kalau mulut gang hanya memasang “verbodden” dan “mobil coret” saja, padahal lebar gangnya cukup, berarti mobil boleh masuk. Sederhana. Kalau hanya larangan tertulis (verbal), apalagi hanya simbol, tanpa kawalan satpam penghalau, berarti boleh diabaikan.
Kita tak percaya simbol, dalam hal ini rambu lalu lintas, karena secara personal kita tak merasa ikut terlibat dalam kesepakatan tentang rambu. Meskipun begitu secara egoistis kita bisa merujuk rambu kalau itu memperkuat posisi kita saat bertengkar soal lalu lintas.
“Bu, jangan parkir di tikungan dong! Tuh ada leter S-nya!” hardik Anda kepada pengemudi mobil yang enak saja memarkir di tikungan dekat warung soto.
Di tikungan lain, dengan maupun tanpa leter S, kita juga berpeluang memarkir di tikungan. Tak beda dengan ibu yang Anda tegur tadi.
Apa boleh buat, mau menangnya sendiri adalah bagian dari seni bertahan hidup orang Indonesia saat ini. Kita tak mau konsisten karena kita rasional: jangan sampai dirugikan oleh hal yang kita yakini. Artinya peraturan hukum kita dukung sepanjang tak menghambat kita dan sekaligus dapat kita terapkan untuk orang lain supaya tak merugikan kita.
Saya tak paham bagaimana para penegak akhlak berkhotbah di rumah-rumah ibadat. Apakah “kesalehan sosial”, sebagai laku akhlak, juga termasuk yang diserukan? Anda yang lebih saleh dan beriman pasti lebih paham dari saya.
Nyatanya karena rambu dan kepatutan makin sering terabaikan, siapapun yang berkepentingan dengan ruang kehidupannya (kompleks, kampung, blok), bisa-dan-boleh memasang upaya pemaksa secara fisik. Bisa berupa polisi tidur, bisa berupa portal pengambat lebar dan ketinggian mobil. Untuk portal memang ada alasan lain: keamanan, membatasi akses keluar-masuk (mestinya sih masuk dulu baru keluar; ah, namanya juga bahasa).
Pemaksa dilawan juga dengan pemaksa
Pengurus RT di lingkungan saya berkantor pernah memasang patok tiang larangan parkir (kecuali penghuni rumah dan tamu) di depan rumah-rumah. Patok itu bisa dipindah karena cuma diberati oleh beton hasil cetakan pot. Titik-titik pemasangan diandaikan akan menghalangi mobil parkir.
Mobil siapa saja? Mulanya mobil-mobil penjemput siswa sekolah Lab School. Sudah lama warga Langsat, Kebayoran Baru, Jaksel, direpoti oleh mobil-mobil itu. Para pembawa mobil itu sangat percaya diri, bisa memindahkan rambu larangan parkir dengan alasan semacam, “Kemaren-kemaren juga kagak ada ginian, napa sekarang dilarang?”
Ketika ditegur, jawabannya konsisten. Kadang disertai tanya tanpa mengharapkan jawab, “Emang saya disuruh parkir di mana?” Oh, di-su-ruh. Apa harus begitu?*
Mereka itu mayoritas bukanlah pemilik mobil melainkan sopir pribadi dan sebagian dinas. Lebih baik ribut dengan pemilik rumah (yang tak bersatpam) daripada cekcok dengan anak majikan. Bermasalah dengan anak majikan itu menyangkut ujung masa kerja, lebih berisiko.
Saya juga tak tahu bagaimana anak-anak mengomando sopirnya karena tak sedikit sopir yang datang lebih dini lalu memilih beristirahat dengan…tiduran dalam mobil sambil menyalakan mesin bisa sejam lebih, dalam mobil yang diparkir di wilayah orang, dan ketika ditegur oleh office boy malah siap melakukan kekerasan.
Pemasangan rambu itu adalah upaya upaya pemaksa, mungkin saja praktik anarkistis (seolah tak ada hukum, tak ada negara), yang dengan mudah dipatahkan oleh pemaksa lain (sudah jelas anarkistis) karena persoalannya adalah siapa yang kuat dan nekat.
*) Lebih dar sekali saya disunguti ibu-ibu yang memarkir di depan bahkan dalam halaman kantor saya, dengan mantera semacam “emang saya disuruh parkir mana?“
© Infografik portal dan polisi tidur oleh Beritagar