“Saya kagum sama Anda, suka ngeliat Anda di TV,” kata pria itu via telepon kepada seorang aktris sinetron yang sedang berbincang pagi di studio radio classic rock M97FM, Jakarta, sekitar sepuluh tahun silam.
“Ah, masa sih, Pak? Sinetron saya kan mainnya pagi, yang nonton ibu-ibu sama pembantu. Kalo pagi bapak-bapak kan di kantor,” sahut si aktris.
Saya tak tahu berapa banyak pendengar yang tersenyum. Sejauh saya tebak, stasiun itu tak memantau pendegar secara real time – kalaupun ada alatnya pasti merepotkan, berbeda dari streaming yang servernya rajin mencatat.
Saya juga tak tahu di mana saja para pendengar pagi itu menyimak radio. Saya berpengandaian mayoritas seperti saya, mendengarkannya dalam mobil. Bukan di meja kerja kantor, bukan pula di rumah.
Dalam kehidupan domestik sekarang rasanya semakin jarang radio ngoceh dan berdendang mengisi pagi. Fungsi auditifnya sebagai benda sudah lama dioper oleh televisi. Bukankah TV juga sering kita perlakukan sebagai radio, didengarkan sambil lalu saja?
Untuk itu, koreksi si aktris tadi sebenarnya menanyakan hal lain: mengapa pagi itu bisa ada yang mendengarkan radio dan menelepon ke studio. Tanpa interaksi, pengelola radio dan pengiklan hanya bertumpu pada asumsi yang dimuat dalam rate card: jam sekian pendengarnya segini, jenis kelaminnya kebanyakan pria, dan mendengarkannya dalam mobil.
Saya tak tahu seberapa Anda kini akrab dengan radio. Saya? Karena kini jarang menyetir maka saya jarang mendengarkan radio. Sementara dalam angkot belum tentu sopir menyetel radio, bahkan USB flash disk telah menjadi gudang lagu. Para penumpang pun tak butuh lagu dari sopir karena mereka menjadikan musik lebih individual: ponsel adalah pustaka lagu berkatalog.
Hanya kadang saja internet pada desktop saya pakai untuk mendengarkan (bukan menyimak) streaming secara acak, dari Radio RGS di Sumenep sampai Auralmoon untuk progrock.
Maka saya ingin tahu apakah sampel Badan Pusat Statistik itu mewakili Anda. Ada Indikator Sosial Budaya 2003, 2006, 2009, dan 2012 dalam situs BPS. Salah satunya adalah “Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke Atas yang Mendengar Radio”. Angka selama 2003-2012, dengan interval tiga tahun, makin menurun: 50,29%, 40,26%, 23,50%, dan 18,57%. Apakah tahun 2015 nanti turun lagi?
Sejauh ini radio tidak mati. Freddie Mercury pernah melolongkannya bersama Queen dalam Radio Gaga, “Radio, someone still loves you.”
Tentang bagaimana radio bertahan, biarlah para pelaku bisnis dan ahlinya yang berbicara. Lebih baik kembali ke paragraf awal tentang radio classic rock M97FM yang tampaknya menyasar pria 30-55 (usia pensiun) itu. Mulanya radio itu bernama Monalisa. Akhir 90-an Masima (Prambors) mengelolanya menjadi M97FM (Male 97 FM).
Radio itu tak laku di pasar iklan padahal saudara-saudaranya, misalnya Delta (dulu radio dakwah) dan Female, bisa hidup. Lalu radio itu mati dengan berpamitan. Di sela har-hari akhir penyiarnya keceplosan meledek adlibs tentang pakan anjing.
Agustus 2005 M97FM mati. Kabar yang menyambutnya: ada sebuah hard disk yang berisi 12.800 lagu claro (classic rock) sedang menganggur. Radio yang pernah memutar lagu keriting dari band tak tenar National Health (album Missing Pieces) itu kemudian menjadi Radio Dangdut TPI, lantas menjadi jejaring berjenama Radio Dangdut Indonesia.
Terbukti radio belum mati dan bisa bertahan.
~ Antyo Rentjoko, bekas blogger, dalam Koran Tempo, Jumat 12 September 2014, halaman 15. Artikel ini ditulis untuk merayakan Hari Radio Nasional 11 September. Tulisan lain, dua hari sebelumnya (10/9/2014), untuk menyambut Hari Radio Nasional, juga ada di blog ini, Rumah di Jalan Buntu yang Selalu Menyetel Radio