↻ Lama baca 4 menit ↬

Rumah di mulut jalan buntu yang selalu menyetel radio dakwah – Rawabogo, Jatiasih

RADIO APA DAN SIARAN APA YANG SERING ANDA DENGAR? | Beberapa kali saya lewat sana, bisa pagi bisa sore, dan kebetulan rumah itu tak pernah kosong, selalu ada orang di dalamnya. Kalau saya lewat, dari rumah itu selalu terdengar suara radio transistor entah dari stasiun mana, yang jelas isinya dakwah.

Saya terkesan. Alangkah setianya penghuni rumah di mulut gang buntu dekat empang itu dengan radio, dengan siaran radio, dengan dakwah dalam siaran radio.

Jika menyangkut siaran Islami, dan siaran agama lainnya, terbukti selalu ada ceruk. Apalagi kalau menyangkut siaran Islami, pasti ada pasarnya karena mayoritas penduduk Indonesia itu muslim.

Radio PTDI Jakarta telah lama menjadi radio pop Delta FM (dulu syiar disampaikan secara ringkas dengan pembacaan hadis pada sela-sela lagu), nyatanya stasiun radio dakwah tak sepi, ada sejumlah tak hanya satu. Salah satu penggemarnya adalah rumah itu. Dan warung kacang ijo dekat rumah saya.

Semakin sedikit yang menyimak radio

Radio transistor Ralin produk medio 1960-an, rakitan Philips di Indonesia. Pesawat radio bisa dibawa ke mana saja tanpa bergantung PLN, hanya butuh baterai • © antiquekunodandjadoel. blogspot.com

Sejauh saya jalan-jalan, keluar-masuk kampung, semakin jarang mendapati rumah yang menyetel radio keras-keras.

Lebih sering saya lewati rumah yang menyetel musik, mungkin dari kaset (memang masih ada?), CD, atau MP3 dalam media simpan.

Juga agak sering saya melewati rumah petak yang menyuarakan siaran TV, entah ada yang menonton atau tidak.

Rasanya sih kian jarang orang mendengarkan radio, tapi anehnya stasiun radio tak punah – padahal tak semua dan tak setiap orang mendengarkan radio dalam mobil.

Menarik melirik Indikator Sosial Budaya 2003, 2006, 2009, dan 2012 dari Badan Pusat Statistik. Persentase penduduk (berumur 10 tahun ke atas) yang mendengaran radio semakin susut. Lihat saja: 50,29% (2003), 40,26% (2006), 23,50% (2009), dan 18,57 (2012). Persentase untuk 2015 silakan Anda terka.

Radio dalam angkot pun makin jarang yang mendengarnya. Saya tak tahu dari 3.000-an mobil pelat kuning untuk 25 trayek di Ciledug, Banten, berapakah yang mengikuti Uber Setoran, acara off-air dari stasiun Radio Mersi untuk sopir angkot.

Belasan tahun silam, saat maraknya radio saku seukuran korek api, sebagian penumpang angkot menjadikan pesawat penerima radio sebagai benda inividual. Setiap orang mendengarkan radio dari earphones masing-masing.

Hal itu berlanjut setelah munculnya pemutar musik digital iPod dan semacamnya, lalu menjadi-jadi setelah ponsel menjadi peranti multimedia.

Penikmatan radio itu semakin individual

Pesawat radio adalah bagian dari gaya hidup. Panasonic Toot-a-loop awal 1970-an bisa menjadi gelang atau dikaitkan ke pipa dekat kloset. Radio ini juga dipasarkan di Indonesia • © Atomic Flashback

Sudah lama radio bukan lagi benda komunal seperti zaman saya kecil: hanya ada satu pesawat radio dalam setiap rumah tangga untuk didengar bersama. Bahkan saya ingat, dulu sekali tak setiap rumah tangga memiliki pesawat radio sehingga radio tetangga bisa menjadi patokan jam, misalnya saat siaran berita.

Radio sebuah rumah tangga, dalam lingkungan yang tak setiap rumahnya beradio, juga menjadi pusat hiburan tetangga. Misalnya saat menyetel ketoprak dan wayang kulit atau uyon-uyon. Kata yang mengalami, pidato Bung Karno dari sebuah radio dalam rumah seseorang disimak oleh banyak telinga melebihi jumlah penghuni rumah.

Ketika pada awal Orde Baru radio transistor* kian terjangkau (tak ada listrik bukan masalah, karena baterai akan menjamin pasokan setrum), saya sebagai bocah menikmati berangkat-pulang sekolah menyusuri perkampungan dengan radio dari rumah di kanan-kiri gang.

Siaran RRI tak terhindarkan karena ada wajib relai sehingga pada jam tertentu suara dari setiap rumah sama, mengiringi perjalanan saya. Misalnya penanda siaran Varia Nusantara lengkap dengan jingle-nya. Begitu pula siaran berita pagi RRI Semarang, dengan intro gambang semarang Ampat Penari, yang oleh anak-anak didendangkan sebagai “setengah pitu…” sesuai jam siar Warta Berita Regional pukul 06.30.

Kenangan itu membekaskan kenikmatan masokhistik dalam diri saya. Dulu ketika tak mendengarnya serasa ada yang kurang namun saat suara-suara propaganda bergema saya merasa terdera padahal tak menyimak. Siaran radio menjadi bel Pavlov. (Jejak kenangan saya tulis dalam Spiker Dinding, e-book Kedai Merahh, hal. 143)

Radio apa yang Anda simak?

Radio bola National Panasonic R–705 yang juga dipasarkan di Indonesia awal 1970-an. Pesawat radio bukan lagi barang sakral untuk seisi rumah, karena sudah tak beda dari mainan • © Ebay

Pertanyaan itu tak lengkap. Radio bisa berarti stasiun radio, bisa juga pesawat penerima siaran radio.

Untuk radio yang stasiun, Anda mendengarnya kapan dan di mana saja? Saat di jalan (dalam mobil) atau di kamar?

Untuk radio yang pesawat, tiba-tiba pertanyaan itu menjadi lucu. Bisa saja tak penting bentuk alatnya karena ponsel pun merangkap pesawat radio dalam dua jenis. Siaran radio dari udara sehingga membutuhkan antena, dan radio dari aplikasi (yang internetnya juga dipancarkan lewat udara).

Siaran biasa cara lama dan streaming mungkin bukan isu. Yang penting ada lagu. Yang membedakannya dari playlist sendiri adalah dari radio ada suara orang dan lagunya ada yang memilihkan.

Artinya manusia memang paradoksal: ketika aneka konten hiburan bisa dikelola dengan mencari-memilih-menyimpan sendiri tetap saja banyak orang membutuhkan otoritas pihak lain untuk memilihkan. Lalu apa bedanya dengan radio siaran yang sejak zaman dahulu yang bergantung kepada penata lagu?

Hari Radio 11 September

Pada pengujung Orba seorang insinyur elektro, yang sering menghidupkan radio rusak untuk tapol, menghibahkan radio sejenis Sony ICF 7600L untuk saya. Sangat berguna untuk mendengarkan berita luar negeri. Si insinyur kemudian jadi komisioner di Komnas HAM dan akhirnya anggota Dewan Pers

Sekarang ini radio buat apa saja ya? Nyatanya stasiun radio tak mati. Bahkan masyarakat membuat siaran radio sendiri dengan radio komunitas, dari mereka untuk mereka.

Radio buat apa, dan buat siapa, jawaban setiap orang bisa berbeda. Dari iTunes di desktop kadang saya mendengarkan MP3, CD, dan juga radio. Semuanya lagu, kecuali radio karena kadang diselingi suara ngobrol – dan untuk pilihan lagu saya tak punya kontrol.

Jangan-jangan orang hanya butuh dengaran. Lalu ketika membuka situs radio yang dicari adalah teks, dan kemudian jika ada tentu arsip podcast, misalnya Salah Sambung dari Gen FM.

Apa tadi? Jangan-jangan? Sejumlah penyiar radio di Jakarta itu akhirnya menjadi nama nasional. Bukan sekadar tukang ngoceh tapi memang radio personality: dia membawakan diri sendiri tapi menyesuaikan diri dengan sosok stasiun. Acara yang dia pegang bukanlah selingan supaya tak lagu melulu yang autoplay diselingi iklan yang juga terprogram.

Mereka, para penyiar itu, tenar dan dibutuhkan, lalu sampai ke televisi dan pentas lain, karena ada yang mendengarkan dan berharap lebih dari ocehan. Para penyiar tak cuap-cuap untuk diri sendiri.

Di Hari Radio besok wahai Saudara-Saudari, jangan-jangan nyawa radio memang ada pada para penyiar (lalu bagaimana dengan produser, pengarah musik, dan seterusnya?). Nyawa radio bukan pada petugas yang menyalakan pemancar pada pagi hari (lalu mematikannya pada tengah malam) seperti dulu di gedung Anem Kosong Anem.

Eh, pendapat tadi ngawur. Siaran radio yang terlembagakan adalah hasil kerja tim. Pengecualian berlaku untuk bedroom DJ yang memborong aneka pekerjaan. Bedroom DJ itu serupa blogger.

*) Tentang kesaktian radio transistor portabel saya teringat adegan dalam film Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011). Kader PKI Bakar (Lukman Sardi) membawa kotak ajaib ke Dukuh Paruk di tengah hutan jati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *