↻ Lama baca 2 menit ↬

maksud saya yang penting gambar roda sepeda, sebagai lambang move on. hahahaha!

TIP MENCEGAH HAL YANG MEMALUKAN MAUPUN BIKIN MENYESAL | Bukan hanya blog. Semua layanan pengisian konten yang saya manfaatkan adalah perekam perjalanan isi benak bahkan hati saya. Ketika mengumpulkan isi blog-blog saya, itu terasa. Kemunculan pos acak (randam posts) membawa saya ke depan cermin. Saya melihat proses saya. Banyak tulisan yang dulu tak matang, bahkan dengan pijakan yang salah, sehingga tanpa dikoreksi oleh pembaca pun saya kini (kadang) melihatnya.

Semua itu saya biarkan. Tak saya hapus. Eh, tapi saya tadi menyebut “dulu”, kan?

Soal “dulu” Itu pun laik koreksi. Sekarang masih kok. Bahkan salah ketik masih terjadi. Bedanya, kalau sempat, salah ketik yang mengganggu dalam arsip akan saya betulkan.

Adapun tentang salah eja, salah tulis karena kesalahkaprahan, itu juga saya biarkan. Kalau dalam tulisan lama ada “manekin” (padahal menurut KBBI adalah “maneken”), itu juga saya biarkan.

Saya menganggap salah ketik dan salah eja itu masalah minor. Ada yang lebih serius misalnya cara memandang masalah. Contohnya? Terlalu banyak.

Kalau saya hapus, padahal saya terus menulis yang lainnya lagi, maka di lain waktu juga akan saya hapus. Ora uwis-uwis. Tak pernah selesai. Blog hanya menjadi papan tulis: untuk ditulisi kemudian dihapus lagi. Itu bukan arsip. Tepatnya: bukan arsip pribadi.

Bagaimana cara terbebas dari jeratan itu? Pertama, yang paling mudah, adalah jangan pernah menulis — termasuk di Twitter, Facebook, Path, Google+, dan lainnya. Kalaupun Anda hapus tetap saja internet mencatatnya, dan sejumlah orang berbaik hati menyalinnya.

Cara kedua? Tetaplah menulis tapi jangan memedulikan arsip. Tak usah melongoknya. Kalau ada orang lain yang mengingatkan, atau merujuk ke arsip Anda, padahal justru tentang tulisan yang kemudian Anda sesali, anggap saja mereka sedang berkubang diri dalam masalah, lalu Anda siapkan jawaban penangkis, “Urusilah arsip tulisanmu sendiri. Becerminlah pada jejakmu sendiri.”

Anda akan tampak bijak justru karena menyatakannya tanpa menyebut contoh. Perujukan contoh akan memancing diskusi tentang hal yang Anda sendiri enggan membahasnya. “Move on, dong,” seperti kata tetangga Anda rajin berjalan-jalan pagi hari dan tak pernah sekalipun berjalan mundur. Bahkan selagi berjalan lalu disapa tetangga, dia lebih suka menengok, lalu memutar badan, dan bila perlu menghampiri penyapa — bukan dengan berjalan mundur.

Kalau bisa memilih, kondektur bus dalam jejalan padat sesak penumpang juga lebih suka berjalan maju saat memunguti uang karcis. Dia berjalan maju dari bagian deret bangku terdepan ke deret terbelakang. Tak ada yang menyebutnya mundur; hanya berjalan ke arah belakang.

Maaf ngelantur. Hanya pada delapan paragraf di muka (berikut pull quote) yang terfokus. Selebihnya ngaco, tapi saya takkan menghapusnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *