↻ Lama baca 3 menit ↬

SETIAP ORANG MAUNYA NYAMAN DAN AMAN…

Botol plastik Aqua tinggal setegukan lagi habis, tetapi dia masih tampak kehausan, dan yang lebih penting lagi bersungut-sungut tanpa tumbuh sungut.

“Susah ya, cari orang yang mau kerja keras,” keluhnya. Padahal setahu saya dia bukan anggota sekte pengeluh yang menjalani hidup dengan ratapan dan menyalahkan pihak lain.

Saya hanya menimpali, “Yang bener itu work smart, bukan work hard.”

Lelaki hampir 50 tahun itu cuma menyemburkan gumpal napas, “Phuhhhhh…”

Salah dia. Saya bukan ahli manajemen kenapa ditanya.

Persoalannya klasik: pada perusahaan rintisan, semua orang bahu membahu bekerja keras tak kenal lembur, tak peduli pemerian tugas (job description). Itu menyangkut panggilan, tantangan, dan pilihan — bahkan tujuan.  Passion. Destiny. Setelah perusahaan tegak, masuklah generasi kedua dan seterusnya.

Sang juragan mengeluh, generasi  baru cuma kelas pegawai. “Nine-to-five, dapet lembur, dapet bonus, nggak suka tantangan,” katanya.

Supaya tampak bijaksini,  saya bilang bahwa pangkal masalah ada pada rekrutmen dan kultur kerja. Kalau nada dan syair perekrutan hanya mencari pegawai, ya yang masuk calon pegawai, orang yang butuh pekerjaan — bukan ingin menjadi mitra kerja. Kalau kultur kerja kumpeni tak menghargai inisiatif dan tak menggelar tantangan, maka jangan harap ada yang tertantang.

Ah, saya ingat ungkapan seorang “pegawai yang baik-dan-benar” di kumpeni lain: “Semangat para pioneers itu ya jatah mereka yang mendirikan perusahaan. Kita mah pegawai, kenapa harus mati-matian? Para founders dulu bikin perusahaan buat apa? Supaya bisa ngasih makan kita, kan?”

Untuk menghibur pria yang akhirnya menenggak habis Aqua-nya itu, saya contohkan sebuah biro iklan lokal di Jakarta yang orang-orang lamanya masih ada, padahal sektor periklanan banyak kutu loncatnya.

Selama likuran tahun orang-orang hebat itu kerasan dan nyaman bukan karena sebagai anak buah dimanjakan oleh juragan, tetapi karena inisiatifnya dihargai. Ada kebebasan di sana. Mereka bukan hanya membangun karier, tetapi juga membangun nilai-nilai dan membangun kehidupan. Bukan sekadar bisnis dalam arti sempit yaitu mencari uang.

Hmmm… memanjakan pegawai. Saya ingat pertemuan sebelumnya dengan seorang eksekutif. Di perusahaan itu saya tahu ada sejumlah orang yang menghabiskan jam-jam kerja dengan ngopi dan merokok di tangga darurat. Mereka tentu saban tahun naik gaji, berikut tunjangan bahkan bonus, padahal tak produktif, kurang kontributif. Orang-orang marginal yang hanya menumpang hidup, kata sang juragan besar. Kesalahan ada pada komandan dan tangsinya, kata saya kepada seorang bos.

Lucunya ketika diberlakukan penilaian kinerja karyawan ke seluruh korporat, hasilnya bisa beragam. Dengan rentang nilai D sampai A, maka mereka yang cuma bisa sesuai target mestinya dapat C1, bukan C2. Tetapi pada anak usaha sebuah divisi, seorang bos unit mengaku, “Di tempat saya itu kalo sesuai target ya  minimal dapat B. Untuk mencapai target yang kita bikin sendiri itu perlu kerja keras, to?”

Baiklah, bagaimana mestinya, itu bukan keahlian saya. Itu pekerjaan orang-orang pintar yang menyusun instrumen penilaian dan khatam soal KPI.

Lalu kami  — saya dan sang eksekutif itu — ngobrol ringan soal program pensiun dini. “Emang duit kalian bisa kasih pesangon sekaligus ke banyak orang?” saya bercanda. Dia bilang, duit bisa minta talangan korporat.

“Tapi,” katanya lagi, setelah menyalakan rokok (di ruang kerjanya boleh mengasap), “yang jadi masalah itu kalo yang mau keluar justru orang-orang yang bagus, sementara yang tetep di kandang cuma yang pas banderol.”

Kami tertawa bersama. Baiklah, urusan selanjutnya memang bukan bidang saya. Itu urusan para ahli seperti Yodhia Antarkisa, dan tentu Nukman Luthfie sang pendiri Portal HR.

Menggemukkan organisasi dengan menambah karyawan itu gampang, tetapi merampingkannya bukan soal mudah. Ketegaan bukan kunci utama, karena bisa menimbulkan masalah. Lalu apa, dong?

Celakanya saya tidak tahu. Saya hanya punya utopia bahwa dalam sebuah perusahaan itu mereka yang tak layak akan secara suka rela mengundurkan diri. :D

“Oh nggak mungkin!” kata teman saya yang lain lagi ketika saya menyampaikan ilusi saya. Ketika dia masih berstatus karyawan, dia sangat riwil dan teramat sadar akan haknya maupun yang bukan atau belum menjadi haknya.

Nah, setelah dia di-PHK lalu menjadi juragan kecil, dia menganggap kemanjaan dan keriwilan sebagai hal yang harus diberantas kalau perlu dengan cara raja tega — saya meledeknya sebagai “cara rumah bui Cipinang”. Tak mungkin menunggu karyawan tahu diri.

“Sampeyan ndak konsisten,” ejek saya.

“Oh, aku tetep konsisten. Selagi jadi pegawai berpikirlah sebagai buruh. Setelah jadi pemimpin berpikirlah sebagai juragan. Jangan kebalik,” katanya, kalem.

Saya ingat ucapannya dulu yang sejiwa. Ketika dia naik sepeda motor maka dia akan selalu menyalahkan mobil. Lalu setelah dia naik mobil dia akan selalu menyalahkan sepeda motor. “Hanya orang aneh yang selagi naik motor mau mikirin repotnya orang yang nyetir mobil.”

Orang aneh? Oh. Patut dilestarikan jika mencerahkan — atau malah dibinasakan jika tak menghibur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *