WARGA MELINDUNGI DIRI DENGAN CARANYA SENDIRI.
Ada yang menarik selama dua tahun terakhir ini. Masker di tempat umum menjadi hal biasa. Pemakainya umumnya perempuan, tetapi sekarang makin banyak juga pria yang mengenakannya.
Yang saya maksud adalah masker yang bukan dipakai oleh penunggang sepeda motor dan sepeda, tetapi masker yang dipakai dalam bus, angkot kecil, dan di jalan, jembatan penyeberangan, halte, terminal, bahkan ketika sebelum masuk ke dalam mal. Sebagian besar pemakainya, menurut kesan saya, adalah pengguna angkutan umum.
Jadi sudah biasa jika pagi atau petang kita mendapati seorang wanita bermasker sedang menunggu bus kota atau taksi. Ragam maskernya pun kian kaya, dari yang berbahan kertas sekali pakai sampai kain bermotif.
Sebelum dua tahun terakhir, masker hanya sering saya lihat dikenakan oleh para pengasuh anak. Mungkin mereka sedang flu padahal harus memomong anak-anak yang daya tahannya tak sekuat orang dewasa.
Sebelumnya lagi, belasan tahun lalu, masker di Jakarta sempat menjadi kebutuhan ketika abu dan asap (eh, asap itu berisi partikel abu juga kan?) hasil kebakaran hutan di Kalimatan dan Sumatra juga menyapa Ibu Kota pada 1997-98. Saya ingat ketika membelinya di Apotek Palmerah tinggal ada selembar.
Saya mendapatkan kesan, penggunaan masker itu merupakan respon warga terhadap kualitas udara Jakarta yang kian buruk. Cobalah Anda lihat jajaan pengasong dalam bus kota. Untuk barang yang tak cepat laku, bungkus luarnya berminyak kehitaman. Jika Anda sentuh dengan jari maka jelaga pun berpindah.
Beberapa tahun lalu, ketika para petugas polantas belum bermasker, seorang polantaswan yang sedang membantu menyeberangkan para pejalan kaki di Slipi bilang kepada saya yang menyeberang sambil menutupi hidung dengan sapu tangan, “Situ enak, Mas. Cuma make pas di jalan. Saya di jalan saben hari!”
Sesampainya di tepi jalan dia sempat menumpahkan unek-uneknya dengan memaki para petinggi korpsnya yang menurutnya, “Cuma bisa korupsi tanpa inget anak buah.”
Menurut Tempo Interaktif tahun lalu, kualitas udara membaik. Di sana Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta Peni Susanti mengutip data Clean Air Inisiative for Asia City: jumlah partikel debu Jakarta 68,5 mikrogram per meter kubik, di bawah batas maksimum standar udara bersih 150 mkg/m3. “Bandingkan dengan jumlah partikel debu di Beijing yang mencapai 140 mkg/m3,” kata Peni.
Saya, seperti umumnya warga, tak paham makna data kuantitatif. Saya hanya merasakan udara tak nyaman. Telinga ini cepat kotor. Kerah baju juga. Begitupun kuku tangan. Dan yang namanya perabot rumah itu lebih lekas kotor, malah belakangan ada debu halus kehitaman. Coba periksa kisi-kisi AC dan bilah kipas angin Anda. Banyak debu hitam, bukan debu cokelat tua tanah. Coba usap juga dedaunan di halaman luar depan rumah yang lalu lintas jalannya ramai.
Hmmm… respon warga. Ada manfaat lain bermasker juga sih. Beberapa perempuan nyaman bermasker ketika menunggu taksi, supaya wajah utuhnya tak menjadi santapan mata para pelintas jalan. ;)