↻ Lama baca 2 menit ↬

Tampaknya hanya mereka yang butuh mengetik panjang dan menggambar yang masih membuka laptop di kedai kopi. Kini dan nanti orang-orang lebih suka menenteng komputer keduanya yang bernama sabak digital alias tablet.

Kalau urusannya hanya untuk media sosial, kenapa harus bawa laptop? Bahkan tanpa laptop, tanpa tablet, pun sejauh ini ponsel pintar sudah memadai. Updating, dengan menyertakan foto, cukup dari peranti genggam.

Apa urusannya dengan kedai kopi? Sejauh saya amati, tanpa survei, bacaan di sana jarang disambar tetamu. Begitu duduk, dan menantikan teman (atau tak menantikan siapapun karena ingin menyendiri), banyak orang langsung tepekur dengan ponselnya. Ponsel masih menjadi obat mati gaya paling mujarab. Ponsel masih menjadi teman setia saat bengong.

Koran di kedai, bahkan majalah gratis, kadang hanya dilihat sepintas. Kalau gambarnya menarik ya isinya dibaca. Itu pun dengan catatan: cahaya ruang memadai, dan mata cukup kuat untuk mencerna teks kecil. Atau, kalau tak sempat baca, majalah dibawa pulang.

Saya tak tahu apakah semua majalah gratis yang tiga tahun lalu masih ada itu sekarang tetap bertahan. Kalau menilik terbitan mediasatu.com sih masih ada. Demikian pula majalah gratis dari grup itu dan penerbit lain yang dibiayai oleh korporat. Tapi tentu itu belum semua majalah gratis yang pernah ada.

Akan tamatkah majalah gratis tentang gaya hidup? Saya yakin tidak, asal mereka memenuhi sejumlah syarat. Yang pertama tentu secara visual bagus. Yang kedua informasinya relevan bagi pembaca sasaran. Yang ketiga: ramah mobile internet dan media sosial.

Yang saya maksudkan ramah media sosial adalah sebagai kertas dia layak difoto dan disebarkan dalam sekejap. Kalau bukan sebagai kertas, tetapi konten digital, ya harus menjadi mobile apps. Selain itu kuis dan sejenisnya juga harus ramah ponsel, bukan hanya pada pengiriman jawaban via SMS tetapi juga (misalnya) pemanfaatan QR code untuk aneka kepentingan.

Masih banyak peluang bagi media cetak untuk bertahan di era digital. Penggunaan augmented reality (AR) adalah peluang yang bisa dimainkan. Kalaupun sekarang masih mahal, nantinya akan memurah. Buktinya pekan lalu koran gratis Australia MX dan Commonwealth Bank sudah mengumumkan rencana konten iklan ber-AR.

Majalah berbayar saja bisa bertahan, apalagi yang gratis. Kita lihat majalah Nylon edisi Indonesia, seharga Rp 35.000, mendapat sambutan bagus di media sosial. Salah satu ukuran “bagus” adalah tone yang positif.

*) Dimuat di detikinet 28 Maret 2011

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *