SECARA BERTAHAP POTRET KITA BERUBAH.
Tangan saya bisa menyentuh bodi bus Maju Lancar di samping kanan. Sangat mepet untuk kerapatan antarmobil. Tak menyisakan celah, baik bagi pengasong, penyeberang, apalagi sepeda motor. Asap knalpot menjadi konsumsi bersama. Jangan heran jika bungkus permen asongan pun berjelaga, terlekati arang berminyak.
Sepanjang sekitar enam kilometer saya merambati jalanan bersama Maju Lancar. Kadang jejer, kadang dia di depan, dan akhirnya di belakang. Kami sama-sama maju meski tak lancar.
Jalan raya adalah potret kota. Yang berdesakan dan berebut ruang adalah wakil-wakil warga tanpa pemilihan. Semuanya menerima sebagai keapabolehbuatan.
Berebut ruang: “lebensraum” setiap saya
Berapa jumlah mobil dan motor di Jakarta? Kita hidup dalam belantara data. Ketimbang bicara salah satu versi angka, saya kutip saja kesimpulan Komisi Kepolisian Indonesia, Juni 2009: setiap satu keluarga di Jakarta memiliki tiga kendaraan bermotor.
Itu yang terdata di DKI — tetapi tak memasukkan kendaraan TNI dan Polri. Padahal mobil dari kawasan pengepung juga banyak. Dari Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, Serpong, dan Banten.
Mereka yang setiap hari bepergian adalah pelaku rebutan ruang jalan. Setidaknya sopir pribadi maupun sopir bus adalah wakilnya penumpang. Begitu pula halnya para pembelah jalan (voorrijder/outrider) dan mobil kawal para tuan negara maupun partikelir. Mereka, para pembelah jalan itu, adalah wakil para tuan untuk bertarung demi ruang.
Terhadap semua itu, jawaban ringkas sudah ada — tapi di atas kertas. Yaitu sistem transportasi umum yang andal dan beradab. Bosan kita mendiskusikannya, apalagi para penentu kebijakan dan pengambil keputusan bukan pengguna angkutan umum — kecuali dulu, pada awal karier; dan sebisanya (mungkin) itu mereka lupakan.
Kendaraan yang berjiwa
Mengamati mobil, apalagi motor, seperti melihat organisme. Mereka tak hanya bergerak tetapi juga berjiwa — dan untung tak berkembang biak dengan pembelahan maupun kopulasi. Dalam konsentrasi dan kewaspadaan prima, setiap pengendara bisa membaca bahasa tubuh kendaraan lain.
Mungkin soal bahasa tubuh itu berlebihan. Toh keluhan pemobil terhadap pemotor tak pernah usai. Ternyata ada satu hal yang kurang dipahami oleh sebagian pemobil, sehingga kadang harus saya jelaskan.
Apa? Naik motor, apalagi pakai jaket dan helm, itu gerah. Berjalan lamban apalagi berhenti berarti alir udara serasa distop.
Bukan hanya itu. Bagi pemotor, pilihan terbaik adalah hanya menurunkan kaki untuk menyangga tunggangan pada saat bertolak dan tiba. Itu sebabnya mereka yang berpantang turun kaki suka main terabas.
Permainan peran, pertukaran peran
Tentu petanya tak sekontrer itu, sekadar mobil versus motor. Mereka yang secara selang-seling mengendarai mobil dan motor pun menerapkan prinsip di kandang harimau mengaum, di kandang kambing mengembik. Saat naik motor berlakulah seperti umumnya pemotor, demikian pula saat bermobil: tirulah pemobil yang semaunya.
Jakarta dan kota besar lain di Indonesia tak sendirian, kata teman Anda. Berebut ruang jalanan memang tak terhindarkan, kata temannya teman Anda.
Baiklah, tapi kita sama-sama tahu bahwa ketertiban dan kesemrawutan itu tak hanya ditentukan oleh jumlah kendaraan tetapi juga tata, orde(r), yang terbangun dalam setiap masyarakat. Maka rasanya tak berlebihan jika kita menganggap jalan raya kita adalah bagian dari potret sosiologis Indonesia.
Apa menariknya? Sampai pertengahan 90-an, menurut kesan saya, penerabas lampu merah tak separah sekarang.
Rasanya ini bukan cuma pasal volume kendaraan. Ini soal sikap dan perilaku dalam menjalani hidup di kota. Permukiman kian menjauhi sentrum kota, area bisnis kian menyebar, sehingga bepergian pun semakin jauh. Anehnya, meskipun kita mengamini jam karet, tetap saja terburu-buru di jalan.
Semuanya bergegas? Tentu tidak. Ada saja mobil berjalan santai di lajur kanan, bahkan di jalan tol. Ada yang sambil menelepon, ada pula yang ngobrol, atau kalau sendirian ya melamun.
Sangat beragam perilaku kita di jalanan. Peran-peran itu bisa bertukar sesuai keadaan. Tetapi ada yang tetap: kita marah jika terhalang, dan ketika menjadi penghalang kita kesal terhadap pengendara lain yang ingin cepat.
Kita? Maksud saya sebagian dari kita. Maaf. Barangkali itulah makna konsistensi.
Anda punya amatan terhadap para pengguna jalan? Bagikanlah. :)