BERSYUKURLAH, SELALU ADA ORANG YANG BERMURAH HATI.
Seusai rapat dengan beberapa eksekutif BUMN, seorang kawan, sebagai orang luar, dihampiri salah satu manajer. “Pak, usulan yang tadi disetujui itu, kalo entar udah mateng diserahin ke saya, ya. Biar saya nanti yang kasihkan ke para bos. Saya kan butuh credit point, Pak!” kata si manajer.
Sebuah keterusterangan yang gamblang. Tanpa jalan melipir. Kawan saya menyanggupi, “Nggak masalah, Bos. Ambil aja. Yang penting usulan saya nanti jalan.”
Meminta poin orang lain? Ternyata ada. Dan sebagian orang menganggapnya biasa. Malah dianggap sebagai seni dalam hidup. Mungkin itu dianggapnya sewajar meminta tiket teman yang menang di TimeZone untuk menggenapi syarat penukaran hadiah yang lebih besar.
Bagusnya, itu dilakukan dengan meminta. Bukan mencuri. Saya pun teringat teman semasa sekolah yang meminjam gambar saya, yang sudah dinilai, untuk dia pinjam lalu disodorkan ke guru yang berjuluk tukang bakso.
Cukup dengan menutupi salah satu ujung lembar gambar yang ada nilainya (pakai tangan), maka dia pun mendapatkan nilai. Dan nilainya selalu dua angka di atas saya. Saya membiarkannya karena selalu ingin tahu perbedaan nilai berdasarkan siapa yang menyodorkan gambar.
Banyak cara untuk menjadikan hidup lebih mudah. Mana yang cerdas, mana yang culas, itu harus ditimbang dengan hati saat menimbang kasus demi kasus.
Pernah seorang wanita dosen menelepon seorang jurnalis. Mulanya menanya kabar, lalu diawali dengan (anggap saja begini), “Oh ya, cara menanam bayam itu gimana sih? Aku asing sama sekali.”
Lantas pertanyaan Bu Dosen kian menjurus, lebih tajam, dan runtut. “Kamu mau bikin makalah ya?” tanya si jurnalis. Waktu itu belum internet apalagi Google, sehingga peta koginisi di benak sangat diandalkan, begitu pula daya ingat. Bahkan judul buku dan penerbitnya pun diangsurkan via telepon.
Makalah? Hanya ada tawa kecil. Lalu good bye. Kebetulan si jurnalis beberapa kali bilang sedang sibuk dikejar tenggat. Dua hari kemudian Bu Dosen tampil di seminar (konon) penuh percaya diri. Isinya ya bersumber dari obrolan telepon itu.
Dari beberapa kawan, si jurnalis akhirnya tahu bahwa semasa kuliah Bu Dosen itu terkenal dengan jurus sadap: menempel cowok-cowok yang pintar, apalagi saat ujian.
Namanya juga hidup. Ada ilmu untuk bertahan. Maka bisa dimaklumi jika seorang editor penerbitan selalu menjaga ketat naskah buku komplet dari penulis yang merangkap desainer grafis, yang lugu dan jujur. Alasannya, “Kalo naskah ini ketauan orang bisnis, mereka akan cari orang dalam buat niru naskah ini.”
Dalam rapat terbukti, ada celetukan dari si pencari uang ketika melihat kopian sampel naskah itu, “Ada teman kita yang bisa bikin gini, nggak? Daripada dikasih ke orang luar, kan kita bisa hemat…” Hemat itu, orang dalam yang ditugasi menjiplak juga tak perlu dibayar lagi karena dia sudah digaji.
Mahalkah ide? Mahalkah kreativitas? Tidak, kata sebagian orang yang kreatif dan sangat pede. Kalau hanya bermodal gagasan, tanpa know how, maka sebagus apapun sebuah rancangan tak akan berjalan.
Kalau cetak biru berada di tangan yang pintar? “Nasib,” kata seorang teman saya. Lantas dia lanjutkan, “Ya kita mengasah diri lagi, bikin sesuatu lagi.”
Masalahnya bukan di hukum, apalagi sampai ke non-disclosure agreement, tetapi di watak. Dulu banget seorang kawan menyumpah serapah ketika tahu bahwa seminggu setelah proposalnya ditolak perusahaan telko, maka perusahaan itu menggelar kegiatan yang mirip banget dengan proposalnya. Tak ada bukti memang, tapi gelaran usulan itu dulu masih langka, operator (baca: manajer baru) belum memikirkannya.
Karena menyangkut watak, maka ujung-ujungnya adalah komitmen diri. Misalkan memesan desain web, dan desain itu tertolak, maka ada sekadar pengganti biaya lelah dari pemesan — dan lebih dari itu ada jaminan bahwa desain tersebut tak akan dipakai, bahkan kalau perlu dimusnahkan. Itu untuk bisnis kelas garage company yang main percaya saja tanpa banyak paper works.
Tetapi, aha, kita kan hidup di era internet? Justru di situ bagusnya. Banyak orang berbagi, dan orang pun saling mengawasi — hanya soal waktu (dan nasib) yang akan membuktikan apakah seseorang memperlakukan karya orang lain semaunya.
Mengambil theme untuk blog misalnya, bisa saja CSS-nya diakalin, tautan ke kreator dhapus, lalu kreditasi diklaim karya sendiri, tetapi akhirnya toh ketahuan. Begitu pula dengan gagasan yang dibagikan di Slideshare atau Scribd. Pencomot dan pemerkosa hak cipta akan ketahuan.
Memang, kemiripan ide di mana pun dan kapan pun itu ada, karena pengetahuan juga menyebar ke mana-mana. Tetapi kejujuran ternyata belum tentu ada di mana-mana tempat. Pernah saya dengar, seorang guru melakukan “kopas” demi credit point untuk mendapatkan sertifikat mengajar, dan kepala sekolahnya cincai saja (bandingkan dengan posting saya tentang sanksi di sebuah sekolah).
Mira Lesmana, dalam sebuah buku yang saya reviu, saya kutip, “Kalau ini memang karya lo, tolong hargai, dan simpan baik-baik. Jangan biasain ngasih-ngasih hasil kerja keras kita ke orang yang lo sebetulnya belum kenal.”
Mungkin ini “ilmu hidup” juga, yang dirumuskan sebagai “ya gimana pintar-pintarnya kita” dan “ngapain capek kalo ada cara gampang?”.
Etos. Etika. Masa sih itu barang mahal? Oh emang ada yang jual, pakai diskon tengah malam pula? :D
© Ilustrasi: Treehugger — tanpa izin
NB: Masih lebih sopan penikmat lagu bajakan — mereka tak pernah mengaku-aku MP3-nya sebagai karya sendiri. :)