↻ Lama baca 2 menit ↬

TAK BAKAL MENJADI KERE, KENAPA TAKUT?

Ini soal basi bagi Anda. Tetapi bagi saya tetap menarik dan membuat saya tak habis pikir. Dari sebuah kasus pembunuhan, yang kabarnya gara-gara wanita caddy, ada cerita tentang perjuangan korban untuk meraih dan mempertahankan jabatan. Terkabar, si korban telah sekian kali mendatangi petinggi yang berwenang, bila perlu ke rumahnya, bahkan mengintil ke sejumlah acara tenis segala.

Itu jelas menuntut kegigihan. Perlu pasokan informasi jadwal tokoh incaran. Butuh kaki tangan untuk melancarkan urusan — pun misalnya hanya sekadar bersirobok. Mirip reporter ulet yang bila perlu harus berbaik-baik dengan sopir dan pembantu narasumber.

Kemudian terkabar juga seorang ketua partai (cukup) besar akan mengundurkan diri karena merasa dirongrong, bahkan oleh pendiri partai yang orangnya dia hormati. Lantas teman-temannya mengingatkannya, menahannya, dan seterusnya.

Dalam hal apa jabatan harus dipertahankan mati-matian?

Bergantung pada kasus, kata orang. Di kalangan kampus, bisa berarti supaya kehidupan tetap didominasi kelompok si pemilik jabatan, demi pencapaian cita-cita. Bisa juga si pemgincar atau pemertahan jabatan mengaku tak ingin mendominasi, karena memang tak dominan, tetapi justru untuk mengerem dominasi kelompok lain demi sebuah keragaman.

Jawaban paling gampang, dan sekaligus berjarak, adalah, “Silakan saja asalkan melalui cara-cara yang bermartabat.” Tanpa tipu daya, tanpa kelicikan, tanpa fitnah — memang sih itu semua bisa dibungkus sebagai strategi dan taktik, hanyalah jalan untuk mencapai tujuan.

Bagaimana dengan jabatan partikelir, semi-partikelir (BUMN dan kuasi-BUMN), serta jabatan publik, bahkan partai?

Langsung saja ke partai dulu. Bagi saya, kalau orang lain memang tak menginginkan lha ya sudah, tinggal turun jabatan. Malah bisa menghemat tenaga dan uang. Kalau keadaan memburuk ya salah sendiri kenapa tempo hari minta ketuanya diganti. Si tersingkir tinggal menjulurkan lidah atau pura-pura cuek.

Adapun untuk jabatan-jabatan eksekutif yang berujung pada jalur rezeki (bayangkan, total bonus untuk komisaris dan direktur sebuah bank BUMN mencapai Rp 61,3 miliar), bagi orang tertentu memang harus dikejar.

Sedangkan jabatan di lingkungan birokrasi, tampaknya juga jadi rebutan. Tak sedikit orang ingin naik pangkat, apapun caranya, bila perlu menyogok dan atau cari beking. Pengacara dari perwira polisi tersangka pelaku pembunuhan tadi menyatakan kliennya memang menginginkan perbaikan nasib.

Cara selain menyogok dan lobi adalah yang tak ada hubungannya dengan kinerja meritokratis. Lihat saja iklan-iklan “layanan paranormal”. Ada saja paket untuk disukai atasan dan kenaikan pangkat.

Pernah saya jumpai kasus, di sebuah kantor setingkat kecamatan, seorang pejabat rendahan baru mendapat halangan melalui cara (yang katanya) magis. Dia bisulan parah, sulit disembuhkan. Ternyata di bagian bawah jok kursi kerjanya ada paku dari dukun. ;)

Ada pula kasus seorang manajer difitnah, dipermalukan, dan dikerjain habis-habisan, sampai dia mengundurkan diri karena tak tahan. Tetapi setelah menjadi orang bebas, gangguan dari rival, melalui orang lain, tak juga kendur. Intinya jangan sampai orang itu kembali, misalnya sebagai tenaga outsource.

Contoh lain yang masih aktual juga ada. Itu lho sebagian dari para caleg gagal yang ternyata mengincar kekuasaan (agar menghasilkan rupiah) sehingga menganggap biaya kampanye sebagai modal yang harus kembali.

Jabatan memang berkaitan dengan imbalan. Tentulah hak setiap orang untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Tetapi mereka yang berposisi lebih, dalam arti kehilangan jabatan (bahkan kehilangan pekerjaan) tak membuatnya jadi kere, kadang tak berani menanggalkan atau menjauhi jabatan. Mereka lebih berani bertarung demi jabatan. Sampai-sampai tak mau mendengarkan nuraninya sendiri.

Mungkin memang keberanian seperti itulah yang membuat hidup lebih bernilai. Setidaknya bagi kaum pengincar dan perebut jabatan yang mengabaikan meritokrasi, atau hidup dalam lingkungan yang tak menghargai etos kerja, dan meyakini segala upayanya meraih jabatan adalah cara yang smart.

“Habis, sistemnya gitu. Masa sih nggak ikut? Rugi. Orang yang lebih malas dari kita, bahkan lebih bodoh, akan berkuasa,” kata seseorang.

Apa tadi, sistem? Kilah klasik. Pembenar yang awet untuk ikut arus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *