CARA RAKYAT MENEGUR BIROKRAT.
Bukan “kedukan bukit”, tak ada candinya. Hanya prasasti beton, dan tentu tanpa ditemani arca. Isinya sebuah pernyataan: “Warning. Barang siapa yang membongkar atau merusak saluran ini harap dirapihkan kembali atau denda sebesar sepuluh juta rupiah (Rp 10.000.000). Bertanda: Perda No. 10.02007. Ttd Udin Kosasih.”
Siapa Udin Kosasih? Saya tak kenal. Saya pun melihat prasasti tutup got itu tanpa sengaja, ketika pulang dari keliling kampung, senja tadi pukul setengah tujuh.
Prasasti got itu terletak di pinggir jalan geronjalan, dekat dengan tikungan di bunderan jalan sebelah tol dekat Pasar Kecapi, Pondokmelati, Pondokgede.
Maka bertanyalah saya kepada pemilik toko alat listrik di dekatnya. “Itu bikinan yang punya tanah sama bangunan ini,” tuturnya.
Ia berkisah, setahun lalu pemilik lahan merapikan got dan membuat tutup. Semen belum sepenuhnya mengering datanglah “orang proyek” yang menurut dugaannya, “Kayaknya orang PU”. Usai mengerjakan sesuatu (“Nggak tahu apa yang mereka bikin,” kata pemilik toko), tutup got dibiarkan terbengkalai.
“Habis sejuta (rupiah) lebih buat ngerapiin got lagi sama bikin tutupnya,” kata pemilik toko yang saya lupa namanya. Begitu rehabilitasi usai, selesai pula maklumat di atas beton.
Bagi orang lain mungkin ini lucu bahkan konyol. Tetapi bagi saya ini penting dan berharga. Si pembuat prasasti telah mengupayakan cara yang berbudaya, melalui cara sama sekali yang bukan prasejarah (melalui tulisan), di atas properti pribadinya.
Saya sebut berbudaya dalam arti lebih baik ketimbang mengambil cincin akik dari jari manis mandor dengan golok supertajam supaya pekerjaan dihentikan. Ini cara purba di era logam.
Banyak sudah keluhan warga tentang bongkar pasang saluran pipa dan kabel yang bikin kotor dan macet. Sudah begitu setelah usai dirapikan sekadarnya. Maka saya pernah mendengar penutupan galian yang tak rapi diimbangi warga suatu titik wilayah dengan mengguyurkan feri klorida (ferric chloride) ke simpul kabel tembaga bawah tanah. Efeknya, termasuk kelucuannya, melebihi pengencingan.
Jika birokrat ingin warga berbudaya, lakukanlah pekerjaan dengan pendekatan secara berbudaya.
PLN, Telkom, PDAM, dan entah siapa lagi, tak cukup berkilah bahwa itu tanggung jawab kontraktor. Celakanya, kesan itulah yang selama ini tertangkap oleh khalayak.