DULU ADA SEGELAS TEH DI SETIAP MEJA KANTOR.
Selagi pipis, orang (pria?) diminta mengamati warna urinenya. Sungguh sebuah pesan layanan masyarakat yang mendidik. Daripada dinding urinoir di Plaza Blok M, Jakarta, itu tak ada iklannya lebih baik ditempeli pengingat. Saya tak tahu bagaimana penempelannya di kamar kecil wanita.
Seberapa cukup Anda minum air putih?
Ternyata tak semua orang cukup mengonsumsinya. Salah satu alasan: tidak merasa haus. Tapi dokter akhirnya harus mengingatkan beberapa teman saya untuk menambah asupan putih.
Tip untuk orang yang diharuskan banyak minum air putih adalah menggunakan sedotan. Minum pakai sedotan (maksud saya penyedot) itu membuat penggunanya tak merasa banyak memasukkan air ke mulutnya.
Itulah sebabnya untuk minuman ringan botolan saya kurang suka pakai sedotan, lebih enak langsung tenggak. Dengan sedotan saya merasa porsinya kurang, tahu-tahu habis, sehingga ingin memesan botol kedua. Rasanya sih sedotan cenderung mem-by pass ujung lidah.
Omong-omong soal air putih, ada pola yang menyebalkan, dan yang terakhir kemarin itu keterlaluan. Apa? Setiap habis Lebaran air galonan sulit didapatkan. Kemarin itu, sampai dua minggu setelah Lebaran, pasokan belum lancar.
Seminggu setelah Lebaran, sebuah kantor PR yang dekat pasar, dan bersebelahan dengan agen minuman ringan, terpaksa memborong sekian karton air putih kemasan dalam gelas plastik. Pasokan air galonan lagi seret.
Air putih galonan adalah salah satu komponen anggaran kantor dan proyek dalam pos consumables. AC dan lampu boleh dimatikan untuk penghematan, tapi dispenser harus menyala dan air galonan harus selalu tersedia. Orang butuh air putih, tapi keluaran mentah keran belum layak minum.
Oh ya, sejak kapan perkantoran memuliakan air putih? Ketika masih bocah, saya melihat banyak kantor yang mejanya menyediakan teh (manis). Foto dokumentasi lama (dan mungkin film Indonesia lama yang kehijauan dan penuh scratch itu) bisa bercerita.