↻ Lama baca 2 menit ↬

HAMBA HUKUM DAN PEJABAT PUN TAK MAU TAHU.

“Gini Bos, kita senang Bos ngantor di sini. Nah supaya sama-sama enak, maksud kita keamanan terjamin, ya tahu sendirilah, kita perlu istilahnya apa itu… tunjangan operasional.”

Itu jelas penodongan. Esoknya, pemilik lahan di belakang kantor, yang dipinjam untuk memarkir mobil, didatangi si “kita”. Mereka memaksa si pemilik lahan agar menaikkan ongkos parkir dua kali lipat.

Pengalaman pribadi? Bukan. Itu tadi cuma kisah imajiner berdasarkan tuturan Kutu Kupret di Mukelu. Intinya ya premanisme. Kita sama-sama tahu. Kita itu bukan kami, tapi saya dan Anda.

Sangat menyebalkan. Sangat merongrong. Kita sering dalam posisi tak berdaya. Mau minta perlindungan ke hamba hukum? Bisa-bisa cuma menambah masalah. Pilihan kita cuma menuruti atau mengandalkan pelindung yang lebih kuat dan lebih mahal.

Di Jabodetabek ada kawasan perumahan yang rawan pemerasan. Siapa pun yang mendatangkan bahan bangunan harus menyetor uang jago agar pikap bisa sampai di depan rumah. Sebiji batu bata ada harganya. Sekantong (zak) semen juga. Begitu pun besi untung tulang beton.

Istilah para preman adalah ongkos bongkar muat — tapi bukan mereka yang menurunkan muatan. Kalau permintaan tak dituruti mereka akan menurunkan muatan sesuka hati. Misalnya batu bata dijatuhkan.

Saya dulu malah pernah melihat kertas fotokopian yang berisi tarif keamanan bahan bangunan. Bukan di pinggiran Jakarta tetapi di sekitar Kelapa Gading, Jakarta Utara. 

Betul, itu bukan hal baru. Premanisme, mafia cecere, atau apapun namanya, memang bagian dari keseharian kita. Dan justru yang keseharian itu yang langsung berhubungan dengan kita. Langsung dalam arti secara fisik kita berhadapan dan secara tunai uang harus keluar.

Pernah saya menyetop taksi yang jauh dari halte seusai belanja dari Carrefour Harmoni untuk menuju kantor di dekat Gedung Arsip Nasional.

Taksi baru jalan 20 meter sudah distop dan dikelingi preman. Mereka minta uang “ngetem”. Bukan ke sopir tapi ke saya.

Lho bukannya saya mencari taksi sendiri dan itu pun dari taksi yang lewat, bukan yang ngetem?

“Terserah. Tapi aturannya emang gitu, Bos. Dua ribu apa sih susahnya?” jawab salah satu pemuda.

Sopir taksi bergumam, “Sudahlah, Pak. Kasih saja daripada taksi saya dirusak…”

Saya tahu diri. Misalkan masih muda pun saya tak ada nyali untuk melawan mereka, apalagi setelah tua.

Sama tahu dirinya ketika harus membayar parkir dua kali di Gelora Bung Karno, yaitu ke loket berkacis dan kepada orang-orang yang merasa telah membantu saya memarkir dengan lima kali maju-mundur-belok tapi sebetulnya cuma melihat dari jauh dan datang ketika mobil sudah terparkir manis lurus.

Inilah potret keamanan yang langsung di depan mata. Bukan mafia yang jauh di mata, dan tak bersentuhan langsung dengan kita, misalnya mafia peradilan dan mafia impor minyak.

Tanggung jawab setiap kepala daerah dan kepala polisi adalah menekan atau kalau bisa membasmi street crime. Memang di balik itu ada sejumlah akar masalah sosial, tetapi ketegasan harus ada.

Memang sih, persoalan menjadi rumit ketika para bajingan juga setor uang perlindungan kepada hamba hukum. Lebih rumit lagi, ketika para bedebah laknat itu terwadahkan sebagai onderbouw partai dan laskar pembela yang bayar bagi petinggi.

Maka setiap ada pilkada carilah janji kampanye “akan membasmi premanisme”. Setiap ada berita pelantikan kapolda, kapolwil, maupun kapolres, carilah janji serupa.

Mencari janji saja susah apalagi bukti.

© Sumber ilustrasi: entah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *