↻ Lama baca < 1 menit ↬

SESUNGGUHNYA, APA DAN SIAPAKAH YANG TUAN BELA?

Izinkanlah saya bertanya satu soal. Ajaran luhur manakah yang membenarkan penganiayaan dengan alasan siapa pun yang berbeda pendapat, apalagi berpihak kepada apa pun dan siapa pun yang dianggap seteru, adalah lawan baru yang mengajak berperang secara fisik?

Banyak orang telah tahu. Banyak orang telah mendengar. Banyak orang telah melihat. Ada saja kelompok yang mengatasnamakan pembelaan terhadap Ajaran Luhur Penganjur Jalan Terang yang tega berlaku keras bahkan cenderung mencitrakan diri sebagai si bengis.  Seolah semua orang harus sependapat dengan mereka. Kalaupun tak sependapat maka diminta diam, jangan bersuara terang-terangan.

Tuan Pemimpin katakan, “Kalau tak mau berperang, jangan menantang!”

Ah, gagah sekali. Tetapi setahu saya, kegagahan sejati tak perlu diwujudkan dengan menganiaya orang yang tak mengajak berperang, apalagi orang yang tak melawan ketika dianiaya.

Maafkanlah kepicikan saya. Tapi dari sepenggal sejarah yang terkumpul di benak, saya belajar dari Seorang Agung Berakhlak Mulia tentang kasih sayang, tentang kedamaian, tentang penataan kehidupan bersama secara beradab.

Beliau, yang panglima perang dan cendekia lagi bijak bestari itu, beserta keseluruhan jalan hidupnya, adalah teladan. Pada zamannya tetapi menduhului arus masa saat itu, beliau menganjurkan, merintis, dan membuktikan sebuah jalan terang agar kehidupan lebih tertata karena manusia harus membuktikan akal budi yang dikaruniakan oleh Sang Maha Pemberi.

Ketika amarah dilembagakan dan keberingasan dibolehkan atas nama bela ajaran — dan lebih jauh atas nama pembelaan terhadap Sang Sumber Ajaran Kekal Tiada Tergantikan — di manakah nurani dan akal sehat ditempatkan?

Jawabannya bukanlah ditempatkan di pelataran Monas pada suatu Ahad. Bukan. Sama sekali bukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *