↻ Lama baca 2 menit ↬

PEMOTRET TANPA ORDER DI PERHELATAN.

foto  dadakanSudah ada dari dulu, dan masih mencoba bertahan hingga kini. Apa? Jasa pemotretan tanpa order dalam setiap acara, dari wisuda, penataran, sampai seminar. Saya melihat upaya bertahan itu dua hari lalu di Taman Mini Indonesia Indah.

Di lantai depan pintu masuk Sasono Langen Budoyo itu terjejer foto anak-anak peserta lomba paduan suara SD. Ukurannya 5R, terbungkus plastik. Selain foto tersedia pula sebingkai film negatif.

Inilah warisan gerak cepat fotografi lama yang akhirnya dihajar teknologi digital. Dengan kamera SLR berfilm, pemotret lekas menghabiskan rol, lantas mencuci-cetaknya (istilah kuno ini, tapi lebih maju ketimbang “afdruk”) di minilab kilat.

foto tanpa orderan di taman mini indonesia indah

Ketika acara masih berlangsung, foto-foto sudah terjajakan. Risiko tak laku semakin bertambah jika orang yang terpotret ogah beli. Atau mau membelinya ketika sore, sehingga harga sudah terdiskon, Rp 12.000 pun dilepas. Bagi pemotret, lebih baik begitu daripada rugi menyimpan foto orang tak dikenal.

Tentang fotografi lama ini, Benny dan Mice pernah meledeknya. Mereka mengambil kasus pemotret berkamera Polaroid di tempat wisata yang disisihkan oleh ponsel berkamera.

Apa boleh buat, inilah ekses kemajuan teknologi. Yang kuno dan tidak praktis — kecuali untuk klagenan (kasus Lomo) dan profesional rewel — akan dijauhi.

Pengecualian mungkin akan berlaku, dalam arti foto-foto itu laku, jika acaranya berisi tontonan untuk pria dewasa tapi pengunjung tak boleh memotret. Dijual mahal pun mungkin laku, tapi setelah itu foto atau film negatifnya akan masuk ke pemindai digital — lalu menyebar lewat blog. :)

Misalkan para pemotret itu berbekal kamera saku digital, dengan tambahan lampu kilat, dan didukung oleh layanan cetak cepat, kemungkinan lebih laku masih ada. Tentu dengan catatan hanya berlaku untuk hari ini sampai akhir 2008, ketika kamera saku yang mendingan belum terbeli oleh semua orang.

Meskipun berteknologi lama, kesigapan pemotret tanpa orderan itu membanggakan. Yang penting jepret selekasnya. Langsung hajar bleh, mungkin itu prinsipnya. Suatu kali, sudah lama sekali, masih zaman prafotografi digital, seturun dari taksi saya langsung dijepreti.

Setelah itu pemotretnya menggerundel entah apa. Taksi saya salah berhenti. Mestinya bukan di pintu lobi ruang wisuda di sebuah hotel. Padahal saya akan ke resto dalam hotel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *