↻ Lama baca 2 menit ↬

SEBUAH CATATAN ORANG JADUL.

sedotan untuk es teh limau dan teh hangat

Baiklah, saya akui terus terang saja kendesitan saya. Buat saya aneh, dan kurang enak, kalau minum hangat pakai sedotan. Tapi yang terjadi, dari warung kaki lima sampai warung mentereng ber-AC, minuman hangat (dalam gelas, bukan cangkir), terutama teh, tetap diberi sedotan.

Bagaimana dengan teh botol dan limun dingin? Tetap enak kalau langsung tenggak. Tentu dengan catatan bibir botolnya bersih, tanpa karat dan sejenisnya.

Minum pakai sedotan itu kurang enak karena tidak melewati bibir, bahkan kadang melompati ujung lidah. Secara ekonomis juga kurang sip: belum hilang dahaga tahu-tahu isi botol sudah habis.

Maka saya pun bisa paham kenapa penganjur minum air putih menyarankan kaum yang sulit mengonsumsi air putih untuk menggunakan sedotan. Tanpa terasa (diharapkan begitu), air yang masuk sesuai kebutuhan minimum tubuh.

Kapankah kita mengenal sedotan secara meluas? Seingat saya pada akhir 60-an. Saat itu masyarakat kota kecil mulai mengenal es jus — minuman yang sulit ditenggak itu. Sebelumnya sedotan yang lumrah adalah yang berbahan kaca, seperti yang untuk koktil itu. Entah bagaimana mencucinya — korah-korah, kata wong Jawa Timur.

Saat meluasnya penjualan es jus pula, pada awal ekonomi Orde Baru, industri plastik dan impor barang-barang plastik mulai menderas. Tapi karena es jus belum terjangkau oleh semua orang, dan bahkan limun berpenutup keramik dengan pengikat kawat pun masih mewah, maka sedotan plastik dijual eceran.

Buat apa? Buat mainan anak-anak. Sebatang sedotan bisa dipotong jadi lima. Setiap potongan dipotong ujungnya sehingga mem(p)unyai dua lidah “V”. Potongan itu, di mulut yang terampil, bisa menjadi peluit.

Menurut kabar burung yang saya dengar waktu bocah, banyak anak yang tanpa sengaja menelan peluit sedotan itu sehinga ususnya robek. Benar tidaknya entahlah.

Saat itu, sebagai benda baru, sedotan plastik juga menjadi bahan hasta karya. Ada yang dibuat ronce, ada yang dibuburkan untuk dijadikan manik dan bros. Sedotan plastik, kayaknya, begitu modern. Apalagi, sepuluh tahun kemudian, muncul sedotan yang bisa dibengkokkan.

Sekarang sedotan “ada sedia di mana-mana warung makan”. Entahlah, kenapa belum diterapkan untuk kopi tubruk panas yang endapan kopi dan gulanya sampai sepertiga gelas itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *