MASIH ADA, TAPI TERASA LAMPAU.
Menarik juga ketika menjumpai gantungan kunci berupa selongsong film 135. Saya mencoba mengingat kapan terakhir kali pakai film. Ternyata lima tahun silam — tapi rasanya sudah lama banget.
Saya bicara dunia orang biasa, dunia konsumen, seperti kita — bukan orang serius yang masih bersetia dengan film. Kamera digital saku maupun yang menempel di ponsel adalah keseharian kita. Apa saja dijepret. Menurut kredo Daus Tralala Trilili, yang punya kamera D-SLR baru, “I take pictures everyday. And I take everyday pictures.”
Tak ada lagi pelit rol, panik mencari lab foto yang buka, cuci-cetak, menyelamatkan dokumentasi dari jamur, was-was terhadap mesin pemeriksa bersinar-X, dan seterusnya. Orang bilang itulah berkah teknologi digital.
Reporter zaman pradigital masih mengalami pemotongan film ketika rol belum mentok supaya jepretan cepat diproses untuk kemudian dimuat. Mereka juga mengalami gonta-ganti rol, dari negatif ke slides, dari hitam-putih ke berwarna, atau dari ISO 100/200 ke rol ISO tinggi (termasuk yang pushed), semuanya secara bolak-balik, gara-gara hanya membawa satu bodi kamera dengan beberapa lensa.
Rol film yang menjadi gantungan kunci itu, pada zamannya malah dianggap biasa. Cuma barang buangan yang dikemas menjadi benda fungsional oleh lab foto, dan jadi bonus.
Rol film itu adalah keseharian lab foto — sekarang juga masih. Jika orang lab foto tak dapat menarik keluar lidah film dari rol, gara-gara terputar ke dalam oleh konsumen, maka bisnisnya patut diragukan.
Rol film itu, di tengah serbuan kamera digital, justru bisa menjadi kenangan bagi orang-orang biasa seperti kita. Rol itu menjadi sebuah wakil zaman yang ribet. Rol itu menjadi potret kekikukan adopsi teknologi: tak semua kamera (saku) analog bisa membaca kode DX dalam rol.
Tapi betulkah film sudah kuno? Masih banyak orang yang memakainya, dalam pelbagai format, demi kualitas — atau atas nama seni. Juga masih dipakai oleh beberapa kelas fotografi. Tapi seorang fotografer bilang, “Kalau mau belajar fotografi, langsung saja ke digital, jangan mundur dulu ke teknologi lama.”
Robb Kendrick, yang karyanya dimuat di National Geographic Indonesia edisi Desember 2007, tentulah bukan orang yang baru belajar. Dia menggunakan teknologi fotografi abad XIX: tintype!