LANGKAH SETELAH PENGUMUMAN IKLAN TERBAIK.
Entahlah iklan tentang apa, dan bikinan siapa, yang akan meraih Citra Pariwara 2007 sebagai iklan terbaik untuk setiap kategori. Saya sudah melihat sebagian kemarin. Melihatnya sebagai orang awam.
Dari sejumlah iklan yang dipamerkan, termasuk iklan TV dan radio, dan banyak yang lucu-nakal, saya punya dua catatan.
Pertama: sudah semestinya iklan-iklan yang dikonteskan itu dibukukan sebagai coffee table book yang dijual murah. Tak perlu menunggu terbitnya buku tentang para pemenang Citra Pariwara sejak entah tahun berapa. Cukup setiap kali ada pesta besarnya orang-orang periklanan itu.
Kedua: peluang iklan layanan masyarakat (ILM) mestinya lebih termanfaatkan oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan badan pemerintah. Daripada pusing merancang komunikasi sendiri kenapa tak memanfaatkan biro iklan dan media secara murah bahkan gratis?
Berita bagusnya, klub sepeda motor (Honda Tiger Club Indonesia) pun bisa bekerja sama dengan biro iklan (bisa juga: diajak oleh biro iklan) untuk membuat ILM. Sayang iklannya kurang menarik, kurang menggigit — padahal jenaka.
Adapun ILM dari Ikatan Pecinta Reptil Jakarta sangat menohok: menampilkan kecantikan ular. Tapi bagi orang yang takut ular, tetap saja itu mengerikan. Pesannya: kalau menjumpai ular di halaman rumah, pembaca diminta menelepon ke (021) 681 9345 atau (021) 549 2725. Klub berjanji akan mengirimkan orang untuk menangkap si ular.
Lantas kenapa iklan-iklan perlu dibukukan? Untuk mendidik masyarakat agar apresiasi mereka terhadap iklan meningkat. Setidaknya masyarakat akan tahu bahwa sebuah iklan, termasuk yang jelek, bukanlah hasil kerja instan penuh cengengesan seperti keisengan visual seorang blogger. :D Di dalamnya ada proses kreatif yang melelahkan sekaligus menantang.
Terbitnya serial buku Citra Pariwara saban tahun, lengkap dengan bonus CD multimedia yang memuat audio dan video, juga akan menghadirkan sebuah potret periklanan Indonesia dari masa ke masa. Bukan hanya kepingan potret bisnis industri media dan periklanan, melainkan juga wajah masyarakat kita — misalnya gaya hidup — dari waktu ke waktu. Selain itu juga sebuah investasi agar semakin banyak bibit bagus yang berminat ke industri periklanan.
Lebih bagus lagi kalau buku itu juga menghadirkan contoh nyata iklan nonkonvensional — sepanjang memungkinkan, kecuali bilbor akan diminiaturkan. Misalnya stiker yang menjadi bagian dari sebuah kampanye. Begitu juga kartu nama sebuah biro iklan (Lowe) saat merayakan Hari Kartini. Punggung kartu itu bergambar pembantu rumah tangga. Banyak wanita bisa berkarier di luar karena sebagian urusan domestik diserahkan ke pembantu (nantinya diserahkan ke suami). ;)
Karena buku itu untuk orang awam seperti saya maka ada baiknya untuk iklan tertentu yang unik dan sulit pun dibuatkan kisah pembuatannya. Misalnya perizinan untuk memasang kotak tipuan penampung benda tajam di bandara, padahal itu hanya bagian dari kampanye Motorola Razr.
Ibaratnya, kalau merujuk iklan lama, masyarakat juga perlu tahu bagaimana repotnya bikin iklan Gudang Garam di TV yang menghamburkan konfeti dari atap gedung-gedung itu. Berapa banyak kertas yang dibutuhkan? Berapa banyak figuran, petugas kebersihan, dan aparat keamanan yang dikerahkan? Hari libur apa yang dipilih untuk syuting agar tak bikin macet?