↻ Lama baca 2 menit ↬

PESONA CINTA. BELITAN ASMARA. SUIT-SUITTT!

pacaran abg

Selagi menjemput putrinya, seorang ibu membisiki suaminya, “Liat tuh anak sekarang… Masih SMP sudah berani mesra-mesraan di depan banyak orang.”

Sang suami mengarahkan mata ke titik di seberang jalan yang ditunjukkan oleh istrinya. Lalu keduanya tertawa kecil.

Di seberang itu, di emper bangunan memanjang, sepasang anak SMP sedang bertukar pijar asmara di sela sebuah acara di sekolah lain.

Ceweknya cantik, langsing, berkulit terang dan bersih. Cowoknya masih tampak culun, terkesan sebagai anak mami. Mereka mesra di tengah teman-temannya dan lalu-lalang orang.

Yah inilah dunia. Sejarah terus berulang. Orang tua dan orangtua pun pernah muda, pernah remaja, dan mereka (dulu) setiap hari memunguti butiran degup dan debar yang melenakan dari lintasan monyet.

Gadis remaja (dulu) yang sekarang jadi ibu dari dua putri remaja, dan mengomentari pasangan usia SMP itu, di depan anak-anaknya masih bisa mendendangkan bait lagu lama Keenan Nasution, “Jaka mencium gadis, tertangkap basah…” Itu lagu tentang masa remaja yang nakal, lucu, kreatif, dan “tetap rajin menuntut ilmu”.

Sejarah memang berulang. Setidaknya pada pola. Adapun bentuk dan cara itu bisa beragam, dan kadang lebih kaya. Yang menarik adalah setelah jadi orangtua, bagaimanakah seseorang dan pasangannya akan mendampingi anak-anaknya.

Seorang wanita Jawa, yang setelah menikah untuk kedua kalinya kemudian tinggal di sebuah negeri dingin, membebaskan putri tunggalnya (dari perkawinan pertama di Indonesia) yang sudah melewati usia 17: “Yèn weekend anakku nginep ning omahé pacaré.

Seorang ibu lain di Bekasi selalu was-was setiap kali ada telepon dari sejumlah cewek yang bergiliran mencari putranya. Ada kebanggaan bahwa bocah lanang yang masih SMA ternyata popular, tetapi sekaligus khawatir anaknya akan salah langkah. Maka pembekalan yang mendewasakan pun terus dilakukan. Hanya saja tak seperti cara Ozzy Osbourne yang selalu menanya anak-anaknya apakah sudah bawa kondom kalau mau berkencan.

Adapun seorang ayah di Tangerang, yang punya anak semata wayang, bilang, “Gue sih enak, anak gue laki. Makanya gue bilang kalo mau ML tunggu dulu, toh sebentar lagi dia kuliah di luar (nagri). Di sana lebih bebas. Di sini, masih SMA, kalo sembarangan bisa ngerusak masa depan.” Maksudnya, ceweknya hamil padahal masih di bawah umur. Temannya, ayah dari anak perempuan, hanya bisa menimpali, “Bajingan lu!”

Dengan anaknya, Pak Tangerang itu memang terbuka. Rokok, alkohol, cimeng, dan seks, didiskusikan terbuka. Maka ketika dia memergoki komputer anaknya berisi foto-foto Miyabi dan foto erotis adegan lesbian, “Gue lega. Anak gue normal. Coba kalo isinya gambar laki?”

Setiap orang, setiap pasangan, punya cara sendiri-sendiri dalam mendampingi anak-anaknya. Bukankah setiap keluarga itu unik?

Bahkan setiap pasangan pun (mungkin) harus berkompromi dulu untuk menetapkan pagar bagi anak-anaknya.

Seorang ibu mengaku heran ketika anak gadisnya, yang masih SD (usia 10), menyukai sinetron percintaan remaja. Suaminya, yang tak suka TV, membiarkan saja, tapi mendampingi putrinya menonton DVD High School Musical yang PG-13. Apapun tentang seks, si bapak siap menjelaskan kalau ditanya anak-anak perempuannya. Biasa, korban mitos father knows best. :D

Pesona cinta. Itu manusiawi — dan indah. Ketertarikan terhadap lawan jenis dan upaya untuk menarik perhatian lawan jenis adalah karunia dalam kehidupan (untuk orang heteroseksual). Tanpa itu populasi manusia terancam.

Lantas bagaimana sebaiknya mendidik putra-putri remaja yang mulai kesandung cinta, Pak?

Khotbah ini sudah selesai. Malah pada paragraf kelima mestinya sudah tamat. Mari pulang, Saudara-saudari. Ojek sudah menanti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *