ADA YANG PENTING, ADA YANG BIARIN AJALAH.
“Celana sampeyan lucu,” kata orang baik itu. Saya merasa tak ada yang salah karena tak memakai celana badut sirkus. “Mereknya itu lho,” katanya lagi sambil menunjuk jins saya.
Aha! Memang mereknya nggak jelas. Tapi nyaman dipakai. Harganya Rp 80.000-an, saya beli di Toko Matahari. Penyebutan nama toko itu pun selalu bikin orang terbahak lalu mengoreksi, “Jadul banget sih? Itu Matahari Department Store!” (Yah, saya kan generasi prahoto — dari “prachtauto“).
Mulanya, sekitar enam bulan lalu, saya mencari celana pendek denim polos tanpa gambar di beberapa toko. Ternyata jarang. Kebanyakan bergambar, aneh pula, dan panjangnya melebihi dengkul — mirip celana Jojon. Akhirnya saya temukan jins itu. Denim polos. Tinggal dipotong.
Ketika saya coba di rumah, lho… kok nyaman? Sayang kalau harus dipotong. Ya sudah, dipakai terus saja. Soal merek, ya apa masalahnya? Dari dulu saya ini konsumen biasa dengan barang yang juga biasa.
Membeli barang bermerek yang mahal berarti menambah biaya. Sayang, eman-eman. Lagi pula, ehm, lha buat apa saya pakai brand keren kalau itu tak mendongkrak saya menjadi agak lumayan ganteng sedikit?
Kalau sebuah merek bisa menjadikan saya ganteng dan gagah, tentu layak beli. Memang sih, bahasa pemasaran sopan akan mengatakan, “Membuat Anda semakin tampan dan gagah.” Tapi itu sihir gombal demi sugesti, seolah-olah korban sudah tampan, tinggal ditambah.
Selain soal ganteng tak ganteng, adalah soal pede. Kalau sebuah barang (maksud saya merek) bikin saya pede dan diapresiasi, mungkin itu bermanfaat. Pede karena saya merasa menjadi bagian dari sebuah kelaziman kaum tertentu dan sekaligus berbeda dari sejumlah orang.
Adapun apresiasi dari sekitar, itu menyangkut rujukan kolektif. Misalkan saya pakai jins Harley-Davidson asli (bukan Harley-Davidchiang dari Manggadua), dan merasa pede (pun tersulap jadi ganteng), tapi sopir angkot T10 jurusan Cililitan dan Bang Tupac Sayur penjual Kupat Shakur tak kenal merek itu, kan percuma.
Sama halnya saya memakai kaos Zildjian sablonan rumah pojok, lalu esoknya pakai kaos Korg yang merchandising. Kedua merek itu tak menjadikan saya terhormat maupun terhina karena bagi orang lain lebih penting apakah saya bisa main drum dan kibor. Jawabannya: tidak bisa.
Tapi benarkah masing-masing dari kita tak peduli brand? Jujur saja, dalam hal tertentu kita butuh, misalnya atas nama jaminan kualitas dan… itu tadi, penerimaan oleh lingkungan. Untuk itu pula bila perlu kita berprihatin, menabung, lantas antre untuk mendapatkannya.
Tak soal. Kalau itu membuat kita nyaman, pede, bahagia, dan tak merugikan orang lain, apa salahnya kan?
Di sisi lain kita kadang tak peduli. Kalau gantungan kunci kendaraan sudah mengelupas, tinggal beli di lapak. Kita tahu itu Louis Vuitton dagelan, tapi ya cuek saja. Emang kalau pakai yang asli akan mendapatkan apresiasi setingkat Gorbachev yang gambarnya mulai muncul Agustus lalu?
Sepanjang cuma berkubang di negeri sendiri, tak akan masuk ke negeri yang mengontrol konsumsi dan distribusi barang palsu, ngapain juga gantungan dompet atau tas bajakan itu diumpetin?
Brand. Genuineness. Originality. Fashion. Function. Kita bisa setia untuk satu hal, dan abai untuk hal lain. Ibaratnya, “Software boleh bajakan, tapi pakaian kudu asli.” Dengan catatan, kita tak melenggang ke wilayah yang mengontrol peranti lunak bajakan.
Foto: © Ogilvy Paris