↻ Lama baca < 1 menit ↬

ANTARA KERELAAN DAN KULTUR KERJA.

no-tipping @ sentul

Tip, atau persenen, mestinya soal kerelaan. Semata-mata hanya berdasarkan keringanan hati si pemberi. Tip datang disyukuri. Tip tiada, janganlah menyumpahi, lalu melayani sesuka hati.

Tapi, ah, kadangkala tip merupakan pasal kerelaan yang kemudian menjadi kepantasan. Artinya, sedikit di bawah keharusan.

Seorang pesuruh bisa saja pilih kasih, lebih mengutamakan peminta tolong yang royal. Begitu pula tukang parkir terhadap pengendara tetap. Kalau pelanggan sudah dikenali sebagai pemberi tip, maka juru parkir akan lebih temulung, helpful.

Bagi sebagian kaum majikan, ndoro, dan tuan, pemberian tip ini dianggap sebagai pemanjaan yang kurang mendidik terhadap anak buahnya. Bisa membuat anak buah berpamrih secara salah.

Namun ada juga juragan yang menganggap tip sebagai rezeki tambahan bagi anak buah. Tak elok jika menghalanginya. Yang penting semua senang, mendapatkan bagiannya.

Maka beberapa kedai dan tempat cuci kendaraan mengumpulkan semua tip ke dalam sebuah kotak. Hasilnya akan dibagi bersama.

Di tempat cuci kendaraan dekat rumah saya, kotak tip dibuka saban malam, seusai kerja. “Dibagi rata soalnya setiap orang berhak. Masing-masing kan udah kerja. Bukan cuma yang nyemprot sama yang ngelap aja yang kerja,” kata Abang Bataktegap, sang juragan.

Di pencucian lain, dan juga bengkel, tip diberikan kepada perorangan. Jika jumlahnya besar, maka si penerima akan menoleh kanan-kiri. Juragan tahu, sejawat melihat, dan kabarnya ada cara untuk menyembunyikan persenan.

Meskipun begitu ada juga tempat usaha yang secara tegas melarang tip. Bahkan sebuah toko online di Jakarta menerakan cap “dimohon tidak memberikan tip” pada faktur dan kotak pesanan yang diantarkan oleh kurir.

Taruh kata semua tip yang masuk memang karena kerelaan hati. Manakah yang adil bagi para penerima? Dikantongi oleh masing-masing orang, sesuai peruntungan hari itu, atau dikumpulkan jadi satu?

Beda orang beda jawaban, tapi intinya sama: yang lebih menguntungkan itulah yang adil.

Lantas manakah yang lebih bagus, membolehkan atau melarang tip? Saya tak paham remunerasi. Jangan-jangan itu memang tugas juragan, bukan pelanggan, untuk selalu memberi lebih — misalnya berupa bonus. Terhadap pelanggan, juragan justru harus memberi diskon, kan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *