↻ Lama baca 2 menit ↬

BIAYA DOBEL TAK TERHINDARKAN. SANGAT INDONESIA.

karcis parkir pasar cikini

Saya tak tahu apakah si pengguna spidol merah ini merasa seperti murid yang dihukum, menulis 111 kali: “Saya berjanji tidak akan melompati jendela lagi.”

Stempel kilat tersedia di kaki lima. Saya tak tahu ongkos bikinnya, tapi mestinya tak terlalu mahal. Yang saya lihat, segepok karcis di tangan petugas parkir Pasar Cikini, Jakarta Pusat, tadi pagi, semuanya tertorehi pengingat.

Lantas? Seperti biasanya, dan di banyak tempat, saya bayar parkir dua kali. Pertama untuk penjaga dalam, tanpa seragam, yang bertugas memberi aba maju-mundur dan kanan-kiri-balas lalu “hooppp!”, bahkan ketika pelataran lengang sekali pun.

Yang kedua, dengan atau tanpa coretan spidol, ya membayar di pintu keluar, kepada petugas berseragam.

Tidak istimewa. Sudah biasa. Di Senayan juga begitu, apalagi kalau ada tontonan di Balai Sidang Jakarta. Di mana-mana begitu. Pokoknya banyak.

Jangan tanya on-street parking. Tarifnya beragam, sesuai lokasi. Di Kemang tentu mahal. Dulu, di masa muda Pakde Totot, yang parkirannya paling mahal antara lain Tanamur. Entahlah di sekitar Tan Goei. :P

Hanya di mal bagus biaya ekstra itu lebih berupa tip. Serela kita. Apalagi kalau kita dicarikan tempat parkir. Di Mangga Dua, bukan yang M2M, kalau wajah Anda sudah dikenali satpam, maka akan dicarikan parkir di depan gerbang masuk atau di depan toko lingerie itu. Makin gede tip makin dikenali.

Mengapa orang begitu malas untuk jalan kaki agak jauh sedikit, padahal itu bagus untuk kesehatan?

Maaf, bukan itu yang akan saya diskusikan. Saya hanya berbagi tentang apa yang banyak orang Indonesia (Jabodetabek?) pahami, atau maklumi, terhadap biaya ekstra.

Memang masyarakatnya kadung begitu, ya gimana lagi. Itu kata kita.

Rela atau tak rela, kita maklum ada banyak perut yang harus terisi, padahal lapangan pekerjaan tak terbuka untuk semua orang. Berbagi rezeki sedikit apa salahnya.

Begitu juga terhadap Pak Ogah atau U-Turn Boyz di depan pompa bensin dan bahkan selepas pintu keluar parkiran pertokoan seperti di Pondok Gede Plaza. Kita maklum adanya.

Cari makan itu gampang. Tapi cari uang untuk makan, itu susah. Ketika menjadi penganggur, saya semakin paham. Saya tak beda dengan mereka. Layakkah saya menista mereka?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *