↻ Lama baca 2 menit ↬

TAK GAMPANG, TAPI DI SITU SENINYA. :d

ruang kerja seorang teman

Teman saya sudah tiga bulan ini ngantor di rumah. Nomor telepon rumah dan faksimilinya hanya bisa dihubungi pada jam kerja. Maksudnya tentu saja jam kerja normal, eight… eh… nine to five.

Tantangan untuk bekerja di rumah adalah disiplin. Tidak ada bos yang mengawasi. Yang ada hanya klien atau apalah yang menagih.

Secara teoritis waktunya lebih longgar. Proses penuaan di jalan (berangkat-pulang habiskan waktu empat jam) bisa dikurangi. Pakaian cuma sarungan juga boleh. Ngliga atau bertelanjang dada pun boleh — karena rumah tanpa AC. Kalau wanita ya cuma berdaster. :P

Tapi dalam praktik, manajemen waktu itu hal yang sulit bagi banyak orang. Kalau dia masih lajang mungkin nggak seberapa ribet. Tapi kalau sudah berkeluarga, terutama bagi kaum ibu, weleh… mau tak mau kudu ngurusin soal domestik.

Bekerja di rumah berarti selagi berkutat juga harus menangani pompa sumur rusak, menerima antaran galon air dan tabung gas, melayani peminta sumbangan, menjawab telepon salah sambung, kedatangan pensiunan kesepian yang doyan ngobrol dan suka datang tanpa janjian…

Kalau dibilang sibuk maka bakal disanggah, “Sibuk apaan? Halah, wong cuma baca buku dan nulis di komputer gitu kok. Cucu saya juga demen nggambar di komputernya tuh!”

Tapi untuk pria atau wanita, sudah bapak atau ibu, kuncinya lagi-lagi klise: disiplin. Lha itu yang susah. Disiplin menurut siapa?

Orang yang terbiasa nokturnal, bahkan pernah bekerja di kantor yang jam kerjanya luwes, malah boleh menginap segala, merupakan hal sulit untuk ber-SOHO secara baik dan benar, kecuali dia memang orang yang adaptif banget.

Secara internal, kebiasaan nokturnal itu bisa bikin keluarga tak nyaman. Orang lain tidur, eh dia bekerja — mana setel musik pula, tapi kalau pakai headphone jadi tak tahu bahwa audio mobil di luar dibongkar maling.

Mau pakai musik atau tidak, malam hari anak minta dikeloni. Suami atau istri juga minta ditemani, sampai kirim SMS berisi penagihan karena rindu.

Seorang teman punya tip bagus: kudu punya ruang sendiri, yang berpintu. Dia katakan, ayahnya dulu, seorang bankir, setelah memasuki MPP setiap pagi masuk ke ruang kerjanya. Istri dan anak-anak tidak mengganggu.

Tapi kalau itu diterapkan dalam kehidupan sekarang mungkin perlu penyesuaian. Rumah kecil, kamar tidur pun ada yang dipakai berdua bahkan bertiga, terlalu mewah untuk bikin ruang kerja eksklusif.

Soal lain adalah pasal anak (dan pasangan). Bagi anak dan suami atau istri, apa artinya pasangan atau ortu bekerja di rumah tapi nggak bisa diajak ngariung?

Seorang teman mengeluh, kalau kumpul dan hura-hura domestiknya pada jam kerja berarti mengurangi jam kerja dia yang normal. Mau mengganti jam yang hilang pada malam hari, anak merengek, suami mencolek terus.

Ada juga yang mengaku, selagi asyik bekerja pada malam sepi, istrinya bawa laptop, mau menemani. Tapi yang nyonya buka adalah situs seram, “Lihat nih, Mas…” Maka tenggat pekerjaan pun terlanggar.

Seorang teman yang lain mengaku kapok kerja di rumah. Enak di luar, karena suami nggak merecoki, bisa lunch di tempat asyik, pulang kantor bisa menyerbu great sale, di kantor pun bosnya nggak terlalu cerewet karena yang penting hasil.

Apa lagi yang lucu karena bekerja di rumah? Saat mengisi formulir sekolah anak. Soal alamat kantor. Pihak sekolah, terutama forum orangtua siswa, langsung mengira sebagai wiraswasta yang banyak duitnya! Harus siap ditodong.

NB:
Dulu seorang penulis skenario yang novelis sampai mengontrak rumah tetangga untuk ruang kerja pribadi. Asyik kan? :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *