↻ Lama baca < 1 menit ↬

SEBUAH UJIAN UNTUK KEJUJURAN KITA.

payung nganggur di pujasera polda

Payung nganggur, saya membatin. Punya siapa, saya menanya sekitar. Orang-orang yang tak saya kenal cuma angkat bahu. Seseorang bilang, “Pake aja. Dari tadi ditinggal di situ.”

Tidak, tidak. Tepatnya: untung, untung. Saya tak ada nyali untuk menyerobot payung yang terparkir di emper itu.

Kalau saya nekat, bisa-bisa risiko yang saya terima sama beratnya dengan maling motor. Orang ramai-ramai nggebuki saya cukup dengan satu aba, “Maling!” Esoknya masuk koran sebagai berita lucu sekolom, sementara saya tak dapat membacanya karena terkapar di ICU.

Sama seperti Anda, saya tadi direpoti hujan. Dari tempat berteduh ke tempat bertemu seseorang, sejauh 200 meteran, tak ada payung maupun ojek payung yang bisa membantu saya melintasi pelataran parkir dan taman.

Dalam basah tertempias hujan, saya melamun sambil menunggu tumpahan langit mereda. Andaikan ada payung gratis di banyak sudut.

Payung itu bukan untuk dibawa pulang. Tapi untuk dipinjam kemudian ditaruh di tempat yang sudah disepakati bersama. Misalnya di halte, teras lobi, pos jaga satpam, warung rokok, dan pojok teduh tertentu di parkiran.

Penyedia payung adalah para perusahaan dan lembaga yang berpromosi, dari pabrik kecap sampai KPK. Tentu tak ketinggalan juga pabrik payung dan perusahaan penyedia media promosional.

Tapi ah, jangankan payung. Majalah gratis di ruang tunggu apotek saja dibawa pulang. Bahkan buku (termasuk peta) di perpustakaan juga diembat.

Jadi? Tak usah dipinjamkan. Dibagikan gratis saja. Perbanyak pembagian payung atau poncho sekali pakai.

Oh ya, dari stok payung yang Anda miliki, berapa yang beli dan berapa yang gratisan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *