SUDAH MERDEKA, MAKA TAK BERBAHASA BELANDA.
Di gedung kuno di Jakarta Timur itu saya dapati sesuatu yang namanya pernah akrab dengan masa kanak-anak saya: brievenbus. Bapak saya sering menggunakan istilah itu.
Tugas yang menyenangkan saat bocah adalah memeriksa kotak surat di rumah. Selalu ada surat. Sering ada prangko. Tanpa alamat jelas pun Pak Pos akan mengantarkannya ke rumah saya.
Lantas bagaimana dengan brievenbus itu? Yah, namanya juga kaum sepuh, tentu saja Bapak masih suka berbicara bahasa Belanda — apalagi saat Bapak dan Ibu ngerasani anak-anak.
Teman sepermainan saya tentu asing dengan brievenbus, speelgoed, omroeper, dan opzichter. “Bapakmu tadi bilang apa?” tanya seseorang. Untunglah Bapak tak seperti tayangan TV dalam tujuh belasan: “En kowe orang extreemist toch?”
Anehnya anak-anaknya — ya kami ini — tidak ada yang bisa berbahasa Belanda. Begitu pula teman-teman yang orangtuanya cas-cis-cus holland spreken; mereka tak mewarisi kemampuan itu. Kami hanya tahu “ja” dan “nee“, atau paling banter “wat is dat?“, “voor U“, dan “van mij“.
Dalam catatan Soe Hok Gie ada beberapa istilah tahun 60-an yang kebelanda-belandaan. Misalnya “TV” (tweede vrouw) atau istri kedua. Saya belum mengecek apakah “naar boven” juga ada.
Guyon generasi masa itu memang masih ditorehi istilah Belanda. Anak mudanya saja membaca majalah musik belanda macam Muziek Express dan Popfoto. Bahkan logo Prambors versi awal persis plek dengan logo grup Belanda Ekseption (bagaimana musiknya, bertanyalah kepada Budi Rahardjo dan JSOP).
Yang ajaib dan bagus dalam Indonesia merdeka masa kini adalah kaum terpelajarnya tak bisa berbahasa Belanda. Kita hanya tahu beberapa istilah hukum (misalnya gijzeling), teknik (draai [schroevedraaier], zuiger, lager, waterpas), dan politik (onderbouw).
Tak seperti beberapa negeri baru yang merdeka pasa-PD II, beruntunglah kita punya bahasa nasional sehingga tak perlu bersengketa tentang bahasa apa yang mesti dipakai: bahasa suku tertentu atau bahasa penjajah.
Dalam perjalanannya, bahasa Indonesia yang berhulu ke bahasa Melayu itu semakin menjawa. Saya termasuk yang berbahasa Indonesia secara Jawa. Keterlibatan dalam jawanisasi ini tidak saya syukuri penuh kebanggaan tapi juga tidak saya sesali sebagai aib. Saya senang jika sudara dari suku dan daerah lain turut mewarnai bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia belum selesai. Indonesia pun masih kita bentuk bersama. Mari Bung rebutan balung.