BANYAK CARA SUPAYA TAMPAK BERBUDAYA.
“Lihat di sini lebih lengkap, Pak,” kata penjaga toko lukisan di lantai terbawah Plaza Semanggi itu. Lalu dia tunjukkan monitor komputernya.
Aha! Sejumlah repro lukisan yang sebagian bertanda air art.com ada di layar itu. Ada Andy Warhol. Ada Roy Lictenstein. Ada Van Gogh. Tapi Dede Eri Supria tidak ada. Coretan Agus Suwage juga tak tampak.
“Bapak kalau tertarik bisa pesan. Kita yang bikinin,” katanya lagi.
Ketika saya menanya tarif, dia mengambil kertas kuarto berisi tabel harga. Yang saya ingat, ukuran 100 cm x 100 cm berongkos Rp 770.000. Karya cetak saring pop art terkenal akan disalin menjadi akrilik di atas kanvas. Raster bulat yang rapi menjadi peyot karena kuas.
Pikiran usil saya menemukan saluran. “Kalau saya bawa contoh gambar repro lukisan dalam digital file juga bisa?” tanya saya. Dia mengangguk.
Saya segera teringat hasil iseng-iseng pakai Art Rage tempo hari, yang saya pakai untuk memermak foto interior dalam Photoshop. Kenapa abstrak, karena gampang tapi bisa kemaki. :D
Malah pada versi awal Art Rage saya dulu pernah meniru-niru Hanafi buat iseng. Maklum saat itu orang lagi gandrung melengkapi rumahnya dengan lukisan Hanafi.
Kemarin, di toko itu, saya juga ingat bahwa dua pekan lalu saya iseng mengolah hasil jepretan terhadap vas tembaga karya Amik menjadi lukisan bo’ongan. “Wah bisa dibawa ke sini nih,” saya membatin.
Yang lupa saya tanyakan adalah nama dan tanda tangan siapa yang akan dipakai seandainya saya memesan “karya repro bikinan sendiri”. Anggap saja ini seperti saya merancang baju, kemudian penjahitlah yang mewujudukannya.
Taruh kata hasil “penyalinan” terhadap Gauguin, Renoir, dan Kahlo, itu rapi masih layakkah disebut karya seni?
Bagi saya masih. Kenapa?
Pertama: saya tak dapat membedakan, bahkan lebih buruk lagi tak dapat mengapresiasi yang asli — pokoknya ikut orang lain saja supaya dianggap berbudaya. Snobisme, asal tak mengganggu orang, bukanlah dosa. :D
Kedua: peniruan pun sebuah craftmanship yang hebat, dan itu tak dapat saya lakukan. Kerajinan, tepatnya hasta karya, adalah seni.
Maka jalan tengah supaya tak dilecehkan orang yang melek seni, bahwa kita cuma memajang karya kopian, adalah lebih baik menggambar ngawur di komputer lalu kita orderkan pengganvasannya ke Semanggi.
Ini seperti imajinasi saya dulu: bikin komposisi asal-asalan di komputer lantas cetakan partitur kompletnya — kalau kita punya duit — kita serahkan ke orkestra untuk dipentaskan.
Memang sih, ketika diputar di komputer musik sialan itu sudah menyiksa kuping dan otak. Tapi kalau pede, kita bisa berkilah, “Ini musik kontemporer, Bung.”
Saya percaya kredo ini: setiap orang adalah seniman terbaik bagi dirinya sendiri.
© Ilustrasi: blogombal.com :)alanis morissette ringtonesnextel com motorola amazon ringtoneringtones 1.1.1sprint ringtone sanyo 8100albert herrington8100 music sanyo ringtonesecret proof adult ringtonejack ringtone 24 bauer Map