↻ Lama baca 2 menit ↬

SETIAP ORANG ADALAH SENIMAN (BAGI DIRINYA SENDIRI).

interior dengan lukisan gombal“Jadi cocoknya saya masang lukisan yang gimana?” tanyanya.

Lho “nya” siapa, kok kayak penutup surat “atas perhatiannya” padahal ditujukan kepada orang kedua?

Ya “nya”-nya si penanya, seseorang yang bertanya tapi salah alamat, dianggapnya saya ngerti seni rupa.

“Terserah. Suka-suka situlah. Asal lukisan itu sampeyan senengi berarti bagus,” kata saya. Untung ini percakapan lisan, bukan tertulis, sehingga dia tak mengoreksi sampeyan menjadi sampean.

Saya katakan jangan pedulikan kata orang bahkan meski orang itu (sok) ngerti seni. Turuti kata hati. Jangan buang uang beli buku seni rupa. Tak usah pedulikan tren kalau tak doyan. Tapi kalau mau ngetren beli aja lukisan “ala Hanafi” seharga Rp 400.000-an di tukang bingkai — jangan beli di Index Furniture, harganya bisa dua kali lipat.

“Lukisan pemandangan itu ndesani ya? Sudah ndak musim lagi?” lagi-lagi dia bertanya. Saya bilang terserah. Kalau suka lukisan ala Sokaraja atau Taman Suropati ya ambil saja. “Musim atau ndak musim itu masalah orang lain, bukan sampeyan,” kata saya.

Salah sendiri kenapa menanyai saya. Apakah kalau ada duit perlu beli lukisan karya seniman terkenal meskipun lukisannya ndak sreg di mata?

Menurut saya ndak usah. Buat apa ndak ada niat investasi tapi ndak bisa mengamankan dan merawat lukisan, tapi kalau barangnya dicolong lantas pemiliknya gulung koming.

Dia ingin tampak berbudaya dengan memajang karya seni rupa di rumah maupun kantor. Saya bilang itu ndak masalah. Masang kalender ndesit juga berbudaya kok. Begitu pula memasang jam dinding hadiah tabungan bank. Oh ya, sama nyeninya dengan memasang ensiklopedia kosong yang cuma ada sampulnya.

interior berposter ndesit“Kalo poster piye? Pantesnya buat kantor, bukan rumah kan?” dia bertanya lagi. Jawaban saya tetap: terserah, suka-suka sampeyan sebagai orang merdeka. Mau moster di rumah atau kantor pribadi ndak masalah. Kalau mata orang lain jadi sepet, ya itu masalah mereka. Tapi kalau situ dikritik jangan marah. :D

Merdeka dalam memilih cara menikmati karya seni. Itu yang penting. Jangan keder kalau dibilang mengidap snobisme OKB (bisa “orang kaya baru”, bisa “orang kere baru”).

Merdeka juga berarti setiap orang boleh merasa jadi seniman. Boleh bikin lukisan sendiri, cuma main-main dengan cat karena “painting” juga berarti mengecat.

Untuk berposteria, teknologi cetak digital bisa dimanfaatkan. Bikin saja desain sendiri di komputer lantas dicetak dan dibingkai. Sama seperti Yayan Sopyan jadi komposer musik elektronik, gitulah. Suka-suka, bebas berkreasi. Ada giliran kita ndak cuma penikmat, tapi juga kreator seni (aha, it sounds keren!).

“O gitu ya? Asyik juga kayaknya!”

“Emang. Makanya blablabla anu anu ini itu cas cis cus cos. Intinya adalah gombal tapi gak terlalu minder gitu lho… Ya betoooll, kemlinthi dikit ndak papa kok.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *