↻ Lama baca 2 menit ↬

KARYA SENI DARI SEBUAH DESA.

vas peci tembaga dari cepogo

“Diumpetin ya, Mas?” saya bertanya dalam canda. Yang saya maksud adalah barang di sudut kanan bawah rak, yang tertutupi oleh benda lain.

Amik Slamet, pe(ng)rajin dan pemilik galeri barang seni berbahan tembaga itu, tertawa kecil.

amik slamet perajin tembaga cepogo“Inggih,”jawabnya. “Bikinnya susah, saya takut ada yang pesan lagi,” dia melanjutkan.

Lantas ada buntutnya: “Itu harga lama. Mestinya nggak segitu.” Semoga ini bukan dobosan bakul. :D

Barang yang saya ceritakan tadi ternyata dinamai “Vas Kupluk 2 Warna”. Separuh atas dibiarkan menembaga tua, separuh bawah berwarna lebih muda. “Warna kimia,” kata Mas Amik.

Tekstur dinding luar atas vas itu penuh luka lunak bekas tempaan. Memang di situ seninya, karena ini bukan hasil cetak bentuk secara massal. Untuk mengetahui dimensinya silakan Anda bandingkan dengan kacamata.

kap lampu tembaga cepogo amik gallery

Di Tumangsari saya temukan galerinya. Itu sebuah desa sentra kerajinan tembaga di sebuah lembah di Cepogo, Boyolali.

Kebetulan liburan kemarin saya membawa anak dan keponakan melintasi Selo, celah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Cepogo, dari arah Boyolali ke Magelang, berlokasi sebelum Selo. Perjalanan di lintas itu menyenangkan. Banyak bukit dan lembah yang menghijau, menjadi latar depan kedua gunung.

amik gallery cepogo

Juga kebetulan si penghasut bernama Paman Patih Blontank (dia memanggil saya Kaka Prabu, kayak kethoprak saja) sudah meng-SMS soal Tumangsari sejak saya di Jakarta.

Di Sala, Paman Patih menunjukkan foto-foto di laptopnya. “Mbakyu pasti suka,” katanya kepada istri saya selagi kami mengudap di sebuah rumah kuno di Laweyan. Gandrik!

gerbang halaman belakang amik gallery cepogo

Karya Amik — seperti halnya Mamik, itu adalah panggilan Jawa untuk Slamet — berbeda dari tetangganya. Memang, sebagian besar pe(ng)rajin Cepogo tak lagi berkutat dengan kèncèng, dandang, dan alat dapur lain berbahan tembaga. Tapi karya mereka ya gitu-gitu aja.

bathtub tembaga cepogo

Soal harga? Tentu, karena ini di “pabriknya”, jauh lebih murah daripada harga di galeri Jakarta dan Bali — apalagi luar negeri. Vas peci tadi, misalnya, dihargai Rp 175.000. Di labelnya sih Rp 190.000.

Dalam ungkapan promosional si penghasut, “Harganya mulai Rp 90.000…” Dan ternyata Paman Patih benar. Memang begitulah seharusnya patih: selalu memberi masukan kepada prabu.

Bukan tidak mungkin kreasi Amik akan ditiru oleh pe(ng)rajin lain, suatu hal yang lumrah di lingkungan sentra kerajinan. Karya Amik pun, kalau tak ada pembaruan, akan ditinggalkan konsumen.

Tinggal bagaimana dia menemukan “ini gaya Amik”. Boleh sih diilhami dari sana-sini, hehehe.

Jadi, kalau Anda akan (atau sepulang dari) memandang Merapi dari Ketep, mampirlah ke Tumangsari yang sejuk. Carilah Amik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *