↻ Lama baca 2 menit ↬

Atribut tuan pada kantong obat apotek kimia farma

YANG DIPERTUAN DI RUMAH SAKIT DAN RUMAH OBAT.

Sebagian penyedia pelayanan medis dan farmasi masih menyapa konsumennya dengan “tuan”. Tentu jika konsumennya pria. Lihat saja papan data pasien di ranjang rawat dan pemanggilan (pakai teriak) pemesan obat pakai resep. Memang sih tidak berlaku di semua rumah sakit maupun apotek.

Adakah yang salah dengan Tuan? Tidak. Itu bagian dari kosa kata kita. Hanya saja kita jarang mendengarnya dalam keseharian.

Selama ini kita mendapati “tuan” dalam dokumen legal, naskah drama, dan buku cerita lama. Beberapa subtitel gambar hidup, dan karya terjemahan, kadang juga bersetia dengan “tuan” — termasuk adegan guru negeri bule menyapa muridnya “mister”. Di lingkungan khusus, sapaan “Tuan Guru” juga masih berlaku.

Bagi orang tertentu, “tuan” memberi kesan feodal, memuliakan kaum menak, dan menghidupkan gaya pri(y)ayi. Sekali lagi: kesan. Semacam bandara (Jawa, baca: bendoro) yang disingkat ndara (baca: ndoro). Misalnya Gusti Bandara Pangeran Harya Bedhes Wetaning Pasar Awanturu Wengimelek Ngahadmancing. Diringkas jadi Ndoro Kakung.

Bagi rumah sakit dan apotek, persoalannya mungkin lebih sederhana. Semata-mata untuk mengidentifikasi jenis kelamin (dan status perkawinan).

Tuan berarti pria, dari sinyo ingusan yang serampung pipis terjepit ritsleting sampai kakek gaek yang sudah 13 kali kawin-cerai. Nyonya untuk wanita yang sudah menikah. Nona untuk gadis kencur sampai wanita lajang matang yang terus-terusan sok sibuk memilih calon suami (misalkan banyak yang meminatinya).

Akhirnya bahasa Indonesia modern lebih nyaman dengan “bapak” (dan “ibu”). Adapun “saudara” dianggap lebih egaliter tapi masih formal.

Ketika seorang pesakitan (duh, jadul banget) berkali-kali menyapa, “Tuan Hakim yang mulia…” boleh jadi itu dianggap meledek. Memanggil seorang advokat sebagai “Tuan pengacara yang Mulya” tentu tak salah kalau namanya memang Todung Mulya Lubis.

Pak Hakim — lengkapnya: Bapak Hakim — sih boleh menyebut pesakitan sebagai “Saudara Terdakwa”. Mestinya begitu juga terhadap pesakitan yang bekas presiden dan sering mengaku sakit itu.

Yang dipanggil “saudara” mungkin boleh protes: “Kapan kita bersaudara, hah? Enak saja!”

Penggunaan “tuan” dan “puan” — di luar artikel kolumnis yang suka melucu, dari Remy Sylado sampai Seno Gumira Ajidarma — kayaknya asyik juga. Apalagi sambil mengingat Juwita Malam-nya Ismail Marzuki.

Sebuah pompa bensin di Pluit, Jakarta Utara, pernah punya bon bertuliskan “SPBU Puan Maharani”. Bukan mau bergaya, mungkin itu memang nama pemiliknya, dari sebuah keluarga terkemuka yang berbisnis BBM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *