↻ Lama baca 2 menit ↬

KEPEKAAN KITA MUNGKIN TERSIMPAN DI BAN SEREP.

Sebetulnya apa yang kita cari dari berlibur? Mungkin sekadar jeda dan selingan dari rutinitas. Mungkin ingin menginjak tempat yang belum pernah kita kunjungi.

Mungkin pula tanpa alasan yang jelas, pokoknya pergi ke tempat yang itu-itu saja, dengan rute yang itu-itu saja. Seperti gajah, kata Mbilung Pengintip Burung. Tepatnya: kata istrinya.

Hidup ini ibarat buku, mereka yang tinggal di rumah saja hanya membaca satu halaman. Begitu kata orang yang gemar bepergian.

Padahal meskipun cuma sehalaman, kalau berupa daftar isi atau ringkasan lumayan juga. Maksud saya jika dibandingkan dengan membaca “halaman prancis”, bagian dalam buku yang cuma berisi judul; tanpa penerbit, tanpa pengarang.

senja di subang

Akhir perjalanan sering berujung pada kelelahan. Berbahagialah mereka yang dalam kepenatannya masih mampu menangkap keindahan senja di jalan alternatif nan sepi, dengan sepeda tersandar pada pohon.

Terlalu melankolis. Kelewat berpikir seperti kartu pos bergambar. Tak apa. Jangan malu meniru. Jika tak ada kamera, rekamlah dalam ingatan dan biarkan waktu mengikisnya dari benak.

Setiap perjalanan berlibur selalu diniati untuk bersenang hati. Masalah selalu ada. Tinggal bagaimana kita menyiasatinya.

Terlalu klise? Seperti wejangan Pak RT? Memang. Hidup kita memang berisi pengulangan. Apa yang basi dan tak mempan untuk kita tetap saja kita lontarkan kepada orang lain. Kalimat barusan itu sekelas nasihat Pak RW.

pipis di jalan, jatinom

Perjalanan, seriang apapun, tetap menghadirkan kendala. Celakanya, kendala itu sebetulnya ada pada diri kita. Misalnya soal pipis. Kalau tak ada toilet bersih, dan tanpa mata orang berseliweran, pipis di (tepi) jalan adalah keapabolehbuatan.

Bagaimana dengan wanita? Cara kuno, yaitu pipis di antara dua pintu kiri mobil yang terbuka, kadang masih layak dilakukan. Bahwa hal itu kurang efektif untuk mobil yang lebih tinggi dari sedan, ya bagaimana lagi.

Yakinlah, tak ada manusia yang matanya setajam elang. Anggaplah bahwa semua orang, terutama lelaki, bermata minus tebal dan sedang tak berkacamata. Sebugil-bugilnya wanita, apa sih yang tampak dari kejauhan?

Bahkan dalam “pose normal”, dan dilihat dari dekat oleh mata waras sekalipun, ketelanjangan wanita (dewasa), terutama perut ke bawah, hanya menampakkan perdu (jika unshaved).

Begitulah, kendala kadang ada pada diri kita. Bukan di luar kita. Tentu ada pembenar: namanya juga darurat. Maka dari sebuah mobil yang berhenti, air pun mengalir di bawahnya, tapi bukan dari mesin. Tak ada orang peduli. Mungkin melihat tapi pura-pura tak hirau.

Masih tentang ujung perjalanan untuk kembali ke rumah yang acapkali mempertebal penat, padahal rumah tak jauh lagi. Seolah kita manusia paling kecapaian di dunia, dan menganggap orang lain belum sampai ke titik lelah.

pompa bensin jalan tol cikampek jakarta

Maka siapa yang peduli ketika menjelang pukul sembilan malam, di pelataran pompa bensin yang luas sekali di tepi jalan tol Cikampek-Jakarta, seorang gadis petugas pompa mengakhiri gilir jaganya dengan menghampiri tiang lampu, lalu duduk bersandar?

Setiap perjalanan, dalam berlibur atau bukan, selalu menghadirkan pengalaman baru. Celakanya kita terlalu lelah untuk peka terhadap banyak hal. Kita hanya peka terhadap apa pun yang mengundang amarah. Misalnya truk yang merambat di bawah batas kecepatan minimal di jalan tol.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *