↻ Lama baca 2 menit ↬

MENGENANG PANCARAN SINAR PETROMAX.

cd orkes moral pancaran sinar petromax

Kacamata hitam. Kemeja putih berdasi kupu. Sangat ndesit bin katro. Itulah ingatan yang muncul di benak saat menemukan CD Kompilasi Lagu-lagu Terbaik Orkes Pancaran Sinar Petromax di sebuah toko.

Tafsir saya bisa salah bahkan ngawur — maka silakan Anda koreksi. Tapi itulah kesan yang saya petik dahulu tentang PSP: berdangdut untuk ndagel sekaligus meledek.

Dangdut ala kampus

Saat itu, menjelang akhir 70-an, dangdut belum begitu diterima luas oleh semua kalangan. Citra dangdut yang kampungan, mewakili kelas bawah, masih sangat lekat. Kalau sekarang sih boleh masuk world music hahaha…

Lantas sekelompok mahasiswa UI — sebagian di antaranya adalah personel Chaseiro — mengemas dangdut cengengesan (saat kampus dikepung militer?) sampai akhirnya muncul di TVRI dan masuk studio rekam. Anak-anak sekolahan yang gedongan itu berdangdut. Sys N.S., dan juga JSOP (serta alumni UI), lebih tahu riwayatnya.

Di mana ndagel dan ngeledeknya? Lihat saja pilihan nama, yang meminjam gaya orkes melayu. OM menjadi “orkes moral” (sangat mahasiswa!). Lantas nama yang memakai “pancaran”, yang generik di kalangan orkes melayu, diambil dan digandeng dengan “sinar petromax” (lampu rakyat).

Gaya busana panggung juga meniru gaya orkes melayu yang sering membawakan dangdut dan gambus. Itulah dasi kupu-kupu dan rompi. Adapun kacamata hitam, tampaknya hanya tambahan supaya lebih lucu.

Bagaimana dengan lagu? Selain My Bonnie dan Hello Dolly — lagu orang kota — yang didangdutkan, ada pula lagu Fatimah. Dalam kemasan versi kaset album, selalu ada dialog di antara lagu. Dialog anak sekolahan kota besar, lengkap dengan bahasa prokem saat itu, yang tak mewakili “komunitas dangdut”.

Cara menyanyikannya? Ya suka-suka — tapi pas. Kalau perlu disengau-sengaukan untuk mewakili dunia banci. Tidak terlalu dangdutlah. Bahkan dalam dialog dulu sempat muncul tanya siapa itu Fatimah, apakah dia anak pesantren.

Bukan untuk dangduters?

Saat itu, sejauh saya ingat dan tangkap, kalangan pecinta dangdut di sekitar saya tak menyambut hangat rekaman PSP. Mobil Colt omprengan tak memutarnya. Begitu pula stasiun radio dangdut. Mereka lebih suka pedangdut tulen dari (Rh)Oma Irama, Elvy Sukaesih, sampai A. Rafiq. PSP adalah ledekan oleh kelas menengah urban.

Album PSP kayaknya lebih beredar di kalangan non-dangdut yang mengapresiasikannya lebih sebagai humor. Penuh semangat hahahihi (apalagi ada Warkop segala), baik saat memutar maupun saat memainkannya dalam genjrengan kongko-kongko. Ada alasan untuk tidak malu kalau ketahuan berdangdut — lha kan cuma lucu-lucuan.

Sekali lagi bisa saja tafsir saya salah bahkan ngawur. Tafsir terhadap situasi saat itu, ketika jejak liputan yang mengutip BS, musisi Bandung, di majalah musik Top 1975/76, bahwa “dangdut itu tai anjing”, masih berbekas.

Dari sisi jurnalistik saya kurang paham peta masalahnya. Apakah lontaran itu muncul dalam wawancara atau sekadar obrolan musisi dengan wartawan yang meski seakrab apapun tidak boleh begitu saja dipublikasikan? Saya juga lupa bagaimana persoalan yang menyinggung perasaan musisi dangdut itu akhirnya dicairkan.

Pencomotan contoh — ya, liputan tadi — bisa saja salah karena saya tak menyimpan dokumentasinya. Mereka yang rajin mengkliping mungkin bisa mengoreksi saya.

CD ini untuk siapa?

Dengan segala tafsir dangkal — yang bisa salah bahkan ngawur itu — atas nama pemahaman terhadap konteks zaman, maka saya ingin tahu satu hal. Apa?

Bagaimana penerbitan ulang rekaman PSP ini akan diapresiasi, terutama oleh pecinta dangdut.

ALBUM: Kompilasi Lagu-lagu Terbaik • ARTIS: Orkes Pancaran Sinar Petromax & Warkop • LABEL: Royal Prima Musikindo • TAHUN: 2007 • HARGA: Rp 25.000

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *