↻ Lama baca 2 menit ↬

50 JUTA PEROKOK INSYAF KARENA BUKU INI.

buku panduan berhenti merokok

Nenek saya perokok berat. Kaca pintu dan jendela kamarnya sampai kecokelatan. Dia meninggal karena uzur, tanpa komplikasi penyakit aneh-aneh, dalam usia hampir 100 tahun.

Tentu ada dua pendapat. Pertama: kalau dia tidak merokok, usianya akan lebih panjang. Kedua: terbukti, rokok tak memperpendek usia.

Oh ya, ada pendapat ketiga: mau umur panjang atau pendek, merokoknya dia mengganggu orang lain yang bukan perokok.

Debat untuk pendapat ketiga tentu lebih hidup. Itu pula salah satu penguat alasan untuk membatasi rokok-merokok.

Jika menyangkut rokok, sebagian dari kita akan mendua. Kantor media (termasuk stasiun radio dan TV) yang produknya menerima iklan rokok toh membatasi rokok-merokok pada banyak ruang. Mau lebih ekstrem? Pabrik rokok juga membatasi rokok-merokok — di pabrik bir juga tak ada orang ngebir di sembarang tempat.

Adat rokok-merokok adalah anak zaman. Bukan hanya soal ekonomisnya yang menguntungkan petani dan (terutama) saudagar tembakau, dan seluruh mata rantai industri rokok, melainkan juga jejak peradaban berupa desain bungkus rokok, korek api, asbak, dan entah apa lagi.

Kelak ketika rokok-merokok sudah punah dari permukaan bumi, maka segala peninggalan yang bernama koleksi bungkus rokok dan sejenisnya itu menjadi artefak berharga. Para guru sejarah akan bercerita tentang kebodohan berabad-abad (ya, kebiasaan merokok itu) pada masa lalu.

Sebagian dari kebodohan itu adalah dokter dan paramedis yang merokok. Begitu pula guru yang merokok — beberapa guru saya dulu klepas-klepus selagi mengajar.

Mereka yang telah tercerahkan bisa bercerita tentang kekonyolan merokok. Misalnya Pakde Uncle Totot dan Andry S. Husain yang telah berhenti. Begitu pula Bondan Winarno, yang berhenti semudah memulainya. Adapun Jasso Winarto, dulu, ruang kerjanya (untuk memantau pasar saham) berbau apek asap cerutu kecil. Priyadi? Jelas, dia antirokok — dan saya mengaguminya.

Tentu, semua cerita itu tak ada dalam buku mungil ini. Sebuah buku yang ingin menyugesti perokok untuk berhenti, dengan klaim diri telah berhasil membuat 50 juta perokok quit (sejak terbit pada 2001).

Tentang isi buku, tak perlu saya bahas. Karena persoalan berhenti merokok adalah si pengisap ingin berhenti atau tidak.

Persoalan berikutnya: taruh kata ada yang berniat, setahu saya tak banyak lembaga (di Indonesia) yang membantu para perokok untuk menemukan jalan terang. Untuk narkoba ada jalurnya. Untuk kecanduan alkohol, ada terapinya, termasuk alcoholics anonymous yang sering beriklan di The Jakarta Post.

Lantas? Ini yang Anda tunggu: bagaimana dengan saya? Masih merokok, on-off, kadang banyak, kadang sedikit, kadang tidak sama sekali, pokoknya tergantung mood — malah saya pernah berhenti lama. Satu hal yang saya bisa jamin: saat tidur saya tidak merokok.

Mau tahu egoisme saya? Ini: saya paling benci bau rokok dan asap rokok yang dihasilkan oleh orang lain. Jangan-jangan perokok adalah orang berpenyakit jiwa, mau menangnya sendiri.

Bagaimana dengan buku ini? Kalau Anda perokok, layak Anda beli, untuk pengingat. Kalau Anda bukan perokok, belilah sebagai hadiah untuk perokok. Selebihnya adalah jangan bergaul dengan (maupun menggauli) perokok. Zero tolerance mungkin akan efektif. Perokok akan tersiksa kalau hanya bertemu perokok melulu.

JUDUL: Stop: Baca Buku ini dan Berhenti Merokok • PENULIS: Charles F. Wetherall (Penerjemah: Siti Masitoh, S.S.) • PENERBIT: How-Press (Pustaka Hidayah), Jakarta, Mei 2006 • TEBAL: 224 halaman • HARGA: Rp 9.000

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *