↻ Lama baca < 1 menit ↬

BERAWAL DARI SEKOLAH, DIPERSUBUR OLEH MEDIA.

loket jalan tol

Apa yang saya khawatirkan terjadi. Jawaban PR anak saya dianggap salah oleh Bu Guru. Jalan tol, menurut buku kunci soal, adalah “jalan bebas hambatan”. Kekacauan bahasa dimulai dari sekolah.

Sebelumnya, saat memeriksa PR, sudah berpesan soal arti jalan tol. Maka kemarin, ketika saya jemput, anak saya mengadu, “Tadi aku bilang ke Bu X, menurut Bapak artinya jalan yang hanya boleh dilalui dengan membayar.”

Terus? “Bu X bilang, yang itu juga benar,” kata anak saya. Sebuah jalan tengah untuk menentramkan anak — dan orangtuanya. Langkah bijak yang sangat sekolah.

Kurang adil jika Bu Guru, dan anggota staf* pengajar di semua sekolah, selalu di(per)salahkan. Mereka hanya larut dalam kesalahkaprahan, yang antara lain ditebarkan oleh media. Misalkan mereka menganggap “nuansa” (nuance) adalah padanan “suasana”, itu juga karena media.

Beberapa kali saya dengar di radio dan TV, dan saya baca di koran, “alibi” dipakai untuk memadankan “alasan” atau “bantahan” atau “kilah” atau “sanggahan”. Sebagian pembuat TTS sih masih setia kepada kamus: alibi adalah bukti seseorang berada di tempat lain pada saat ada sebuah kejadian di suatu tempat.

Saya orang media. Saya juga masih kacau dalam berbahasa. Kenapa bisa? Pertama, karena bekal kebahasaan saya payah — bahkan sejak SD. Kedua, karena saya juga larut dalam kesalahkaprahan dan ngawurisme yang dikembangkan oleh orang-orang media (tak semuanya sih).

Media terus menghujankan kata. Kadang kreatif kadang menyesatkan. Pembaca, pendengar, penonton, ikut terbawa. Sebagian dari mereka akan menjadi guru dan… pekerja media (dan presenter, dan MC). Bola salju menggelinding.

loket jalan tol

PETUGAS LOKET TOL. Bebas hambatan itu janji dan harapan, yang penting adalah pelintas harus bayar. :)

*) Berapa banyakkah orang yang mengindonesiakan “staff member(s)” sebagai “anggota staf”?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *