↻ Lama baca 2 menit ↬

TAMU TERTENTU CUKUP DI TERAS SAJALAH.

dua ruangAda yang bilang, pasangan muda Jakarta kurang suka menerima tamu dan kurang suka bertamu. Indikatornya, ruang tamu mereka kecil, kursi cuma seperlunya. Bertamu tanpa menelepon dulu dianggap kurang sopan.

Mereka, pasangan di bawah 40 tahun itu, juga kurang suka bertamu. Kalau mau ketemu ya di kafe atau resto. Apalagi Ramadan ini: banyak resto jadi tempat pertemuan dua keluarga atau lebih.

Benar tidaknya tentu butuh riset atau apalah namanya. Tapi bagaimana kalau ruang tamu kecil karena rumahnya memang kecil (kayak rumah saya yang 4L)? Belum lagi jika menghuni unit mungil apartemen.

Orang lainnya lagi, yang sepakat dengan orang di paragraf pertama, memberi catatan: amatan berlaku untuk rumah yang sudah direnovasi atau rumah baru yang dibangun dengan desain sendiri.

Saya mencoba mengingat sejumlah rumah. Sampel acak — tepatnya: acak-acakan — di otak saya ternyata membenarkan. Ada rumah besar, dua lantai, anak cuma satu, punya ruang hi-fi, tapi ruang tamunya kecil berisi dua kursi. Ada lagi yang rumahnya tetap tipe 36, dan sisa lahan diatur supaya muat dua mobil — artinya saat ada mobil, untuk masuk dan keluar orang pun susah.

Aha! Ruang keluarga! Itulah yang lebih penting. Bagi pasangan sibuk, yang berangkat pagi dan pulangnya malam, siapa pula yang akan bertamu selain pengurus RT — itu pun belum tentu sebulan sekali? Bahkan kalau tamunya itu tetangga lebih sering diterima di teras.

Tamu tertentu, semisal keluarga dekat atau sohib, diterima di ruang makan. Bila perlu ngobrol sampai pagi. Kalau tamunya ngantuk diminta menginap sekalian.

Beberapa keluarga yang punya kebiasaan menyelenggarakan pengajian, kebaktian, latihan paduan suara, akan menyediakan ruang keluarganya.

Seorang pendatang baru heran, kawannya harus membuat janji dulu sebelum bertamu ke rumah kakak atau adiknya, padahal sama-sama di Jabodetabek.

Lha iyalah. Anggap saja si kakak di Kampung Cerewet (Bekasi), si adik di Beji (Depok), dia sendiri di Pabencongan (Tangerang), dan bungsu di Katulampa (Bogor).

Cara paling praktis untuk bertemu adalah di sebuah rumah makan di Jakarta atau tempat lain yang mudah dicapai. Atau bila perlu liburan bareng ke luar kota. Mau lebih gayeng, agar anak-anak tak berebut ikut mobil siapa, dan yang dewasa tak lelah menyetir, ya sekalian menyewa Big Bird atau Hiba. Konvoi bukan tujuan.

“Orang-orang yang aneh,” kata teman di “daerah”. Lho, “D”-nya DKI (dan sekitarnya) itu apa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *