↻ Lama baca 2 menit ↬

SESEKALI JADILAH PELANCONG DARI LUAR.

“Turis? Dari mana? Mau apa?” tanya seseorang di tengah kerumunan kaki lima, menyapa saya yang jeprat-jepret.

Sebuah sapaan tiga-per-empat ramah. Orang berkulit gelap seperti saya, dengan tampang dan logat Jawa, bisa mengaku dari Suriname atau Kaledonia Baru.

Tapi sial bagi saya, kalau mereka kurang akrab dengan dua negeri yang menyimpan keturunan Jawa itu. Mengaku dari Republik Grobogan atau Republik Kebumen, dengan pengandaian wilayah itu sudah merdeka, akan dianggap kenthir.

Untunglah kenakalan kadang cepat sekali datang. Di tempat lain saya mengaku dari Malaysia. Aman.

Tapi itu dulu. Kalau sekarang mengaku dari Malaysia tidak mudah dipercaya. Mungkin terlalu banyak orang mengaku dari sana. Kalau mengaku dari Brunei kita akan dianggap kaya. Mengaku dari Singapura? Kadung terpatri, warga Tumasik adalah keturunan Cina dan India.

Ada seorang keturunan Cina yang kadang dengan enteng mengaku “dari Cai-ne” — bahkan terhadap penanya yang keturunan Cina sekalipun. Dia setel yakin, padahal tidak bisa berbahasa mandarin, “Soalnya nggak semua Cina bisa bahasa mandarin, lagian Cina itu kan nggak cuma Hokkian, Khek, Kanton, atau apa gitulah.”

Setelah itu dia mengucapkan kata-kata tak jelas, pokoknya mirip film Hong Kong. Penanya malas memperpanjang percakapan. Dalam hati dia terbahak.

Selain soal akting, ini juga soal kepantasan. Kalau saya yang mengaku orang RRC atau Makau, pasti butuh akting yang luar biasa agar dipercaya.

Ada juga orang indo, atau kebule-bulean, yang tanpa harus mengaku-aku sudah dianggap sebagai orang asing, dan… lebih di-welcome-in.

Seorang teman saya pernah sebal oleh perlakuan itu. Dalam sebuah perjalanan dinas, dia harus menyetir terus karena sejawatnya yang kayak bule nggak bisa nyetir.

Akibatnya si teman yang asal Karanganyar, Jawa Tengah, itu oleh orang-orang setempat dikira sopir. Si bule lokal semakin terkukuhkan sebagai si asing.

Padahal dari segi bahasa, si sopir yang pernah lama di Eropa itu bisa Inggris, Prancis, dan Jerman. Tampang Karanganyar tak memantaskannya jadi orang asing. Bahkan mengaku sebagai imigran di negeri lain pun hanya akan mengundang cecaran pertanyaan.

Dalam situasi tertentu, menjadi orang asing itu aman dan nyaman. Bahkan memotreti pun dibiarkan, apalagi kalau tidak pakai kamera SLR.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *