↻ Lama baca 2 menit ↬

ADA NGGAK SIH BLOG YANG MENGAJAK KITA WASPADA?

cawang uki

Sial! Ketika turun dari bus, ponsel dalam saku celana cowok itu berdering. Satu dari empat pria yang juga barusan turun dari bus langsung meminta, “Mana barang lu? Mana?” Ponsel berpindah tangan ke bedebah laknat di tengah keramaian.

Itu peristiwa yang menimpa teman dari kawan saya enam tahun silam, ketika ponsel masih agak mewah, dan yang lebih penting lagi Cawang masih sangat rawan.

uki cawangBeberapa tahun silam saudara saya menyusuri trotoar Cawang menuju halte bus yang akan mengangkutnya ke Bogor. Di tengah jejalan pelintas dan pedagang itu seseorang mendorongkan benda keras-dingin ke pinggangnya dari belakang sambil berbisik penuh ancaman, “Diem lu. Diem. Diem…”

Kawan si penodong menjalankan motornya perlahan di tepi trotoar. Saudara saya bisa meloloskan diri di tengah jubelan manusia lain yang tak peduli.

Dulu, siang hari, istri saya menyaksikan seorang kakek mengejar sekawanan copet. Orang-orang di sekitar halte bukannya membantu si kakek malah tertawa-tawa, menyoraki pencopet, “Sukurin lu! Sukurin!” Selera humor yang aneh.

Cawang? Orang bilang “UKI”. Bukan kampusnya, melainkan sepenggal jalan di depan kampus itu. Mpokb dan Wonkito bisa bercerita aman tidaknya Cawang seputar UKI kini.

Ya, kini. Setelah UKI lebih terang, terutama setelah jalan kolong (apa sih bahasa Indonesianya underpass?) jadi. Tepatnya: Cawang malam hari seberang UKI, bukan Cawang dekat rumah sakit.

Subhan S.D., dalam Danger Zone: Jalanan, Perempatan & Kawasan Rawan di Jakarta (GagasMedia, Jakarta, 2003), ketika membahas Cawang UKI menyatakan:

Seperti halnya para penjudi, penjahat-penjahat yang merajalela di kawasan ini juga seperti di rumah sendiri. Tidak takut, termasuk kepada polisi. Gawat dong!
[…]
Apakah sekarang aman? Mimpi kalau Cawang aman. Tanggal 2 Agustus 2003, 20 preman di situ mengeroyok seorang alumnus UKI, Arya Wiryawan, hingga tewas.

Kesan saya sih sekarang Cawang lebih aman. Memotret sendirian menjelang tengah malam sampai pergantian hari masih bisa — tanpa harus berlagak sok serdadu maupun preman. Ojek makin banyak, penjual ada yang 24 jam, masih ada pos polisi di sana.

Kewaspadaan tentu masih kita perlukan. Informasi terbarui tentang wilayah tertentu kita harapkan. Makanya saya merindukan blog yang berisi danger zone, yang dikelola oleh (sekelompok) orang yang banyak ngeluyur, hapal kawasan rawan, dan selalu updated. Yah semacam Jaga-jaga itulah.

Ayo, siapa mau memulai? Masa sih kita minta reserse bikin blog?


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *