Blog ini bukan Halaman Jurnalistik

▒ Lama baca 3 menit

NGEBLOG, BAHKAN YANG CENGENGESAN, TETAP BERISIKO.

Saya bisa meliput dan menulis, pernah dimuat di sejumlah media, dan saya mendapatkan uang dari situ. Baik sebagai honorarium saat saya masih freelancer maupun sebagai gaji imbalan untuk pegawai karena bekerja di perusahaan media. Lebih penting lagi: kadang saya mendapatkan keasyikan.

Lantas bagaimana dengan blog ini? Tetap sebuah jurnal pribadi, lengkap dengan segala tanggung jawab saya, disertai (kemungkinan) ganjalan etis maupun moral, komplet dengan ranjau hukum yang mungkin saya hadapi sebagai warga negara.

Halah, serius amat sih? Barusan ikut penataran? Biasa ngeblog cengengesan kok tiba-tiba ceramah?

Soal blog ini memang ada sisi seriusnya, terutama pada proses dan hasilnya, dan itu bisa menimpa semua bloggers.

Bukan sekadar laporan
Mari, mulai dari sisi yang paling ringan. Taruh kata saya melaporkan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan di Pasar Cikini, Jakarta Pusat, seperti termuat di kontrakan lama. Saya bagikan kepada semua pembaca blog, melalui tulisan dan gambar.

Asyik dong? Bagi saya iya. Bagi sebagian pembaca juga. Tapi itu bukan sebuah laporan jurnalistik. Itu seperti surat terbuka untuk sejumlah kawan, yang bisa diintip semua orang. Khas eksibisionis, begitulah.

Jika yang saya lakukan adalah pekerjaan jurnalistik, maka prosesnya juga harus sesuai standar jurnalistik. Mau mainstream media atau bukan, ketika saya menanyai bahkan memotreti narasumber di pasar maka saya harus memperkenalkan diri, lalu menjelaskan maksud saya menanyakan ini-itu dan memotreti sana-sini.

Tentu di dalam paket dan perkenalan merangkap penjelasan maksud itu sudah termasuk info tentang media pribadi saya, yaitu blogombal.

Kalau narasumber tak paham apa itu blog, saya harus menjelaskan blog dengan bahasa yang dia mengerti, bahkan bila perlu setelah laporan saya ter-online-kan maka saya harus mencetakkan halaman web itu dan menunjukkannya.

Ngapain repot?
“Wah, nggak asyik!” kata Anda. “Kalo banyak batasan, hasil kupingan dan intipan nggak bakalan lancar tertayang,” kata Anda.

Nanti dulu, sabar. Kalau yang saya lakukan adalah pekerjaan jurnalistik, maka saya harus menanyakan kebenaran hasil kupingan maupun obrolan (bukan wawancara), bahkan hasil jepretan colongan (ini nih yang asyik), kepada pihak yang tepat, dan menghormati hak mereka untuk menyangkal.

Tanpa proses itu saya tak beda dari penguping, reserse, intel, dan penyebar fitnah — bahkan bisa menjadi penyiar rahasia keamanan negara (misalnya lokasi persis rudal yang dibiayai rakyat di kompleks industri strategis) dan etika peradilan (kasus susila dan sidang anak).

“Ah, udahlah. Nggak fun nih. Ngeblog ya ngeblog, jurnalistik ya jurnalistik. Napa sih sok repot? Yang penting kan kita nggak bo’ong, nggak ngarang, semuanya faktual, ada bukti foto, eksklusif lagi!” begitu mungkin kata Anda. Betul. Boleh. Tapi silakan melanjutkan baca…

Kalau di pasar ada pencopet tertangkap dan dipukuli, masa sih saya harus menyeruak, “Perkenalkan, saya Paman Tyo, dari blogombal, mau memotret dan melaporkan. Yang disebut blog adalah…”

Saya selesai menjelaskan si copet sudah bonyok bahkan mati. Bahkan saya mungkin sudah linglung gegar otak di sebelahnya akibat pukulan massa(l).

Kalau blog ini adalah sebuah halaman jurnalistik maka saya bisa saja langsung memotret pengeroyokan itu. Mengamati keberlangsungannya. Stop dulu: ini pun masalah moral, bukannya menghentikan malah mengabadikan acara main hakim sendiri — tapi ini buat diskusi lain kali.

Setelah itu saya harus mengumpulkan keterangan dari pengeroyok, saksi, polisi, dan sebisa-bisanya si pencopet itu. Setelah itu saya tulis, lantas klik, online. Blog (jurnalistik) telah terbarui.

Walah, repot bener. Nggak asyik. Telat. Kalah cepat sama media arus besar yang punya pasukan untuk mengumpulkan dan menyajikan informasi. Memang.

Risiko pahit
Uh, mulai nggak menghibur nih. Bagaimana kalau demi keamanan pribadi, karena kita berada dalam represi penguasa atau ancaman preman yang ditoleransi oleh penegak hukum? Masa sih harus terang-terangan? Sudah tanpa nama alias, masih konfirmasi ke sana-sini pula sebelum online?

Apa boleh buat, kalau sebuah blog memang diniatkan menjadi halaman jurnalistik — dengan penerbit, peliput, fotografer/kameraman dan editor ada pada satu orang, tapi semuanya (seolah) terlembagakan — maka prosedur tadi harus ditempuh, dengan sejumlah risiko.

Uh, sok heroik! Emang berani dipukulin? Nggak. Sakit itu. Nggak ada yang mau.

Eh, entar dulu. Masih ada soal lain. Klarifikasi dari pihak tertentu, kesanggupan saya meralat dan meminta maaf, bayar ganti rugi dan denda, dan seterusnya yang akan panjang kalau ditulis di sini.

Mau lebih rumit dan berat juga ada: jika keyakinan ngeblog jurnalistik saya — dengan atau tanpa investor — mewajibkan saya melindungi sumber berita maka risikonya ada pada saya.

Selalu ada ranjau
Jadi, gimana dong? Setelah bertele-tele, dan memutar sana-sini, maka saya cuma menyatakan bahwa ngeblog njurnalistik itu tidak gampang. Bahkan ngeblog tanpa niat jurnalistik pun tetap berkemungkinan tersandung perkara. Dengan catatan: tersandung belum tentu kita yang bersalah.

Blog ini, ya blogombal ini, tetap sebuah halaman suka-suka. Bukan halaman jurnalistik di web. Bukan blog tentang jurnalisme.

Meskipun halaman suka-suka, risiko tetap ada. Manajer TI kantor saya berhak menutup akses saya ke hosting karena yang saya lakukan — ya: ngeblog — tak termasuk dalam uraian pekerjaan saya. Artinya sama bersalahnya dengan saya menggunakan internet kantor untuk mengunduh gambar dewasa dan menggunakan jam produktif untuk chatting, bahkan untuk transfer duit, sudah begitu sering mengeluhkan kuota bandwidth pula.

Bahkan sebagai blog, tulisan ini tak memenuhi standar. Tiada tautan dengan rujukan tertentu, bahkan untuk kata “blog” dan “jurnalistik”, “journalist”, “jurnalisme”, “journalism” — apalagi untuk kasus blogger Amrik yang lagi hangat maupun blogger top peliput (pe)perang(an).

Dalam ngeblog, jika menyangkut pihak lain, maka ranjau selalu ada. Ini seperti Anda menyemprotkan Pylox (merek nih) ke tembok pagar saya “botak tua jelek!”

Faktual, sih. Meyakinkan, takkan terbantahkan. Tapi saya berhak memerkarakan Anda karena telah mengganggu properti saya dan melakukan tindakan tidak menyenangkan — bukan isi pernyataan Anda — apalagi jika Pylox-nya punya saya.

Lah lahhhh…, berat juga ya ngeblog, padahal niatnya kan suka-suka? Keliru menyebut nama latin kucing gerong bakal dikoreksi sambil dihina sebagai goblok. Menyalin jepretan orang dibilang nyolong.

Lebih sial lagi, jika saya tersandung urusan legal akibat ngeblogombal, maka juragan saya tak berkewajiban menyediakan pengacara, tak perlu terlebih dahulu meminta ombudsman untuk melakukan pemeriksaan internal. Sama seperti kalau saya naik sepeda menabrak bocah, padahal di luar tugas, maka urusan saya tanggung sendiri.

Kebebasan berpendapat dan takaran risiko
Jadi? Hmmm… gimana ya enaknya? Kalau mau aman, semuanya dibatin saja. Jangan diucapkan, jangan dituliskan, apalagi dipublikasikan… :D Tapi layanan blog buat apa, coba? Ya buat nggombal karena nggombal adalah bagian dari kebebasan menyatakan pendapat.

Tapi mau blog jurnalistik atau blog cengengesan, jika (misalkan) sebagian (kecil) pembacanya, juga satu-dua media resmi, pada percaya bahkan memanfaatkan (minimal mengilhami), terus bagaimana?

Lah lah…, ruwet lagi. Balik lagi ke atas, paragraf demi paragraf. Kalau belum ketemu berarti kita diskusi soal lagi — dengan catatan kalau ada waktu dan mood kita cocok.

Kalau mau digampangkan sih jawabannya ini: sejauh apa si blogger, eh saya, sanggup bertanggung jawab. Anda benar, kalimat barusan itu klise dan tak menjelaskan apapun.

Saya sudah capek mengetik ini. Sudah hampir meneruskan “kepada siapa tanggung jawab blogger setelah kepada dirinya sendiri: masyarakat pembaca, negara, atau…?” Tapi capek. Gombal kan?

Yang baca aja capek apalagi yang nulis. Lagi pula saya mau ketemu orang.

Tinggalkan Balasan