
Di pelataran kedai yang dinaungi pohon jati muda nan rapat itu saya lihat sumur. Kata kedua yang langsung mencuat dalam benak setelah sumur adalah perigi. Saya membatin masih lakukah kata perigi? Kata itu dulu, saat saya masih bocah, saya jumpai dari buku-buku terbitan sebelum saya lahir.
Barusan saya cari di Alkitab Terjemahan Lama (LAI, 1958), kata perigi ada di, misalnya, dalam Kejadian 21:30: “Maka sahut Ibrahim: Ketujuh ekor anak domba ini hendaklah kauambil dari pada tanganku akan suatu kesaksian bagiku, bahwa aku yang telah menggali perigi ini.” Dalam Terjemahan Baru edisi pertama (1974), kata perigi diganti sumur. Ya, perigi itu arkais. Mungkin hanya penyuka TTS yang paham.

Lalu soal sumur berupa lubang dalam dengan pagar bata atau batu yang disebut bibir sumur? Sudah jarang saya mendapati. Di rumah Yogyakarta, masih ada sumur macam itu, demikian pula di rumah saudara di Kudus, namun pengambilan air dengan pompa listrik.
Sumur dalam foto itu saya tengok dengan menjengukkan kepala ke bawah. Ternyata ada airnya, artinya bukan perigi buta atau sumur yang kering. Perihal sumur, dulu sumur di Yogya karena tak ditutup lalu ada ayam nyemplung sampai mati. Tak jelas kapan persisnya, tetapi kami tahu setelah ada bau busuk. Kami terpaksa memanggil tukang dan mengistirahatkan sumur tetapi air terus ditimba.
Bagaimana mengambil air dari sumur ada dua cara selain dengan pompa tangan dan pompa listrik. Pertama, dengan menimba, yakni menggandulkan ember pada tali yang disangkutkan pada jentera, pengambil air tinggal mengerek. Kedua dengan menyenggot, yakni menggunakan senggot berupa galah yang ujung bawahnya diganduli ember. Ada juga varian senggot dengan tuas berpemberat.

2 Comments
Waktu saya kecil, permen saya pernah kecemplung sumur, tenggelam ke kedalaman. Permennya standar, bentuk balok warna oranye, emang rasa jeruk, dibungkus plastik transparan dipuntir kanan kiri. Beberapa hari kemudian, permen itu muncul lagi ke permukaan, nggak sengaja nyangkut di ember timba waktu saya harus ngebaki kolah alias mengisi bak mandi sampai penuh. Bentuk permennya masih utuh, dibungkus plastik dipuntir kanan kiri, tapi isinya sudah berubah total menjadi air bening. Terkagum-kagum saya dulu melihatnya.
Hahaha!
Dulu waktu saya belum sekolah, di Salatiga, kadang ada tamu orang Jerman bawa dua anak kaki lebih besar dari saya. Mereka suka mencemplungkan batu besar ke sumur, jegurrrr. Jiannnn, bocah tambeng.
Waktu KKN tiga bulan, sebelum saya pulang ke Yogya saya memasukkan dua ekor ikan seperti ikan emas ke sumur. Entahlah apakah ikan tumbuh besar.