Roti bagi perut Jawa tetap kalah dari nasi

Apakah Anda bisa hidup hanya dengan roti, tanpa nasi sama sekali?

▒ Lama baca 2 menit

Anda lebih suka makan roti atau nasi? — Blogombal.com

Sekira tujuh tahun lalu, teman saya sepulang dari liburan di Prancis sepekan lebih bilang, “Aku ora ketemu sega dadi pekok, Kang. Dasar weteng Jawa!Sega itu nasi. Weteng adalah perut. Saya teringat pengakuan itu tadi pagi saat akan menghabiskan lembaran roti tawar terakhir.

Sejawat saya di Kebonjeruk, Jakbar, dulu selalu butuh nasi. Saat berkuliah di Ostrali, dia menanak nasi sendiri. Untuk makan siang dia segera pulang ke apartemen, makan nasi, lalu kembali ke kampus. Di Indonesia, dia makan apa pun harus disertai nasi. Misalnya martabak dan tahu isi. Tetapi dia tersinggung ketika saya tanya apakah makan nasi goreng juga disertai nasi putih seperti saat makan bakmi.

Kalau saya tak tentu. Kadang pagi bisa kuat sarapan roti, tentu lebih dari setangkup, dan kadang sebelum pukul sepuluh sudah lapar. Tetapi secara umum saya memang mengandalkan nasi untuk sarapan.

Orang Indonesia akrab dengan roti sejak zaman Belanda, ketika sudah memasuki abad XX. Perihal roti, tentu dihasilkan oleh peradaban yang sudah mengenal pengolahan biji-bijian menjadi tepung, 30.000 tahun silam, dan kemudian mengenal ragi.

Ketika manusia mengenal ladang gandum, itu adalah tahap yang lebih maju dalam peradaban. Berladang, begitu juga bersawah untuk padi, membutuhkan kemampuan lebih supaya tak kelaparan saat menunggu panen.

Pengawetan makanan, lalu menyimpan padi atau gandum, jelas membutuhkan manajemen. Dalam hal sawah, butuh kemampuan berorganisasi untuk mengelola pengairan.

Tahap ladang biji-bijian lebih maju dari berburu hewan di hutan dan sungai atau tasik dan bahkan segara maupun memanfaatkan tumbuhan di hutan atau padang untuk kebutuhan subsiten, karena belum mengenal barter, namun jangan menyebut tahap ini terbelakang. Setiap tahap pemenuhan kebutuhan dari alam untuk kelompok sendiri pasti memiliki kearifan lingkungan yang kadang dikemas sebagai mitos. Ekonomi pasar dan ketamakan manusialah yang bisa membahayakan lingkungan.

Periode berladang dan bersawah memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur dan memanfaatkan waktu. Tradisi lisan, dan kemudian aksara, memperkuat pengelolaan kognisi kolektif, termasuk untuk mengembangkannya menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kembali ke roti, ketika pabrik Sari Roti hadir di Cikarang, Bekasi, Jabar, pada 1995, dengan melibatkan modal Jepang, terasalah bahwa negeri yang tak punya ladang gandum ini makin menyukai roti. Waktu saya kecil, ekspat bule di Salatiga, Jateng, dulu ada yang membuat roti tawar sendiri.

Di sisi lain, hingga saat ini tumbuh industri roti, tak hanya tawar, di perkampungan. Selalu ada toko roti kecil dan selalu ada warung menjual roti meski belum tentu tawar.

Menyangkut gandum, di negeri ini mi juga sangat disukai. Bahkan Indonesia bermain mi instan di Afrika, bikin pabrik di sana. Dalam foto bantuan Indonesia untuk Gaza, ada mi instan dalam pesawat kargo untuk diterjunkan di lokasi tujuan.

Tentang beras untuk bangsa pemakan nasi, selain sagu, ini pemerintah bilang kita sudah mencukupi sendiri, bahkan punya cadangan. Namun awal 2025 masih mengimpor beras, dengan dalih itu order 2024 (¬ CNBC Indonesia).

Kalau bicara roti, kini ada diet gluten padahal dulu tidak. Pengalaman dan pengetahuan manusia terus diperkaya. Dulu konsumsi nasi berlebihan tak ditautkan dengan karbohidrat yang akan menaikkan gula darah.

6 Comments

Pemilik Blog Sabtu 23 Agustus 2025 ~ 20.25 Reply

Jawa dan Sumatra juga Sulawesi sudah lama mengenal padi. Umbi-umbian tak semuanya asli lokal, karena singkong dari Brasil dibawa Portugis.

Oh kalo roti Garut sejak abad XIX berarti tahun 1800-an ya?

Lagu Djavan anak singkong:

https://youtu.be/by59pIXOOb4?si=44TNqgEOVNWXKjtA

mpokb Sabtu 23 Agustus 2025 ~ 23.10 Reply

Yang tertera di kemasannya 1885, Bang Paman.

Oohh iya ya, Djavan si musikus Brasil sampai bikin lagu “Farinha” untuk merayakan singkong :D

Pemilik Blog Minggu 24 Agustus 2025 ~ 07.50 Reply

Top nian itu si produsen roti. Mungkin si juragan tak kenal nasi ya. Lalu di Garut siapa saja konsumennya selain orang Belanda dan Cina ya? Menarik ini.

Badu Selasa 26 Agustus 2025 ~ 15.34

Pernah nemu reklame toko roti itu di sebuah koran berbahasa Belanda, 1917. Di situ tertera alamat di Garoet, nomor teleponnya cuma 2 digit. Ketika itu nomor telepon di Bandoeng sudah 3 digit.

Pemilik Blog Jumat 29 Agustus 2025 ~ 19.37

Menarik. Top tenan berarti. Pakai telepon pula, yang masih pakai operator supaya kita minta disambungkan.

mpokb Sabtu 23 Agustus 2025 ~ 01.05 Reply

Makanan asli orang Indonesia sebetulnya sagu dan umbi-umbian kan Bang Paman, tapi nasi yang datang belakangan itu memang paling cocok untuk segala lauk :D

Btw, di banyak kota ada saja pabrik roti yang sudah berumur puluhan tahun sejak “zaman Belanda”. Bahkan Khoe Pek Goan yg di Garut itu sudah dari abad ke-19. Salut bisa bertahan. Entah apa ada yang sudah bikin kompilasi pabrik-pabrik roti kolonial ini.

Tinggalkan Balasan