Penjual balon pada senja hari dan persoalan diri sendiri

Sejumlah tanya mengapung dalam benak, hasilnya hanyalah imajinasi dan refleksi, tanpa konfirmasi

▒ Lama baca 2 menit

Penjual balon senja hari di Pasar Kecapi — Blogombal.com

Tak tepat jika saya mengatakan penjual balon itu berjongkok sambil berteduh di balik sepedanya, di bawah dagangannya yang menggembung. Saat itu, kemarin, tak ada bakaran panas dari sinar surya. Sudah pukul enam sore. Mungkin panas bara sigaret yang menyapa jarinya.

Saya membatin, hingga senja dagangannya belum habis. Apakah sekitar jam salat magrib anak-anak masih di jalan, atau depan rumah, dan merengek kepada ibunya, minta dibelikan balon plastik menyerupai boneka?

Terpaan terang pada trotoar dan jalan beton dalam foto berasal dari lampu LED putih PJU. Lampu jalan menyala dan padam dengan sensor, saat hari mulai menggelap dia hidup, dan esok pada akhir terang tenah dia mati. Berulang terus. Mengikuti irama hari. Tetapi penjual balon ini masih di jalan, dekat Pasar Kecapi, rehat untuk mengurai kepenatan.

Penjual balon senja hari di Pasar Kecapi — Blogombal.com

Imajinasi saya menjalar, gelayaran. Membayangkan di rumahnya anak istri sudah menunggu. Menantikan cerita seorang ayah tentang perolehan rezeki dari mengelilingi wilayah, menyusuri gang, menjajakan balon, membunyikan buluh towèt towèt dan meneriakkan kata balon. Ya, balon adalah mainan. Tentu pria itu tak bermain balon.

Lalu saya membayangkan sebelum berangkat, di rumah dia menggembungkan balon satu per satu, mungkin anaknya pun tak dia beri, karena balon untuk dijual agar nasi tetap ditanak dan lauk selalu terhidang.

Jika selama berkeliling itu menjajakan sejumlah balon laku, ada kelelahan yang membuatnya gembira, memompa stok balon, untuk menggantikan balon yang terjual. Satu balon berpindah ke tangan pembeli berarti uang datang.

Maaf, itu tadi hanya lamunan saya, bukan hasil wawancara dengan standar jurnalistik karena blog ini memang bukan laman jurnalistik. Maka saya tak tahu pukul berapa dia bersepeda meninggalkan rumah, apakah pagi, apakah siang, apakah sore ketika sinar mentari sudah melunak?

Saya tak tahu di mana dia berdiam, tak tahu berapa jumlah anggota keluarganya. Tentu saya tak tahu berapa rupiah rerata perolehannya dalam sekali jalan.

Seputar balon dalam kehidupan — Blogombal.com

Apa yang saya tulis dalam blog ini sesungguhnya mencerminkan kedangkalan diri dalam memahami hal di luar diri. Banyak yang berdasarkan pengandaian sekilas dan pengenalan terhadap kulit ari aneka masalah.

Sudah beberapa kali saya menulis perihal balon. Dalam sebuah tulisan lama saya sebut bahwa balon itu ringan, tetapi ketika para orangtua diberi gratis dalam jumlah banyak pun tak semua menerimanya terutama saat bepergian sekeluarga.

Saya pernah memanfaatkan situasi itu, menyediakan banyak balon, dan membayar tukang pompa di balik dinding belakang stan, dalam sebuah pameran besar komputer, karena saya tahu takkan ada orangtua tamak mengambil balon sebanyak-banyaknya. Mereka tak mau repot, harus menggandeng bahkan menggendong anak yang membawa balon padahal harus menyibak kerumunan.

Meniup balon sebagai terapi pemilihan saraf — Blogombal.com

Tentang meniup balon, saya mengalaminya dengan berlelah-lelah, sebagai kerja keras, agar dapat meniup balon sampai menggembung penuh sehingga meletus membuat saya girang namun lemas. Apa boleh buat, itu terapi untuk wajah menceng saya atas anjuran dokter saraf.

Dua kenangan kisah tadi adalah bukti bahwa blog ini tentang diri saya. Apa yang saya lihat, baca, dan dengar — juga saya foto — sering kali terpiuh menjadi celoteh tentang diri saya, dan tentang pandangan saya terhadap hal apa saja. Namun itulah cara saya merawat kesadaran.

Terima kasih Anda sudah membaca. Jika Anda jemu, itu wajar nian. Tabik.

One Comment

Junianto Kamis 27 November 2025 ~ 21.03 Reply

Saya tidak jemu, kok, Pamanku….

Tinggalkan Balasan