
Saya belum mencoba mengudap di kedai ini maupun kedai berikutnya dalam serial yang sama, lagi pula tak ingin mencari tahu di mana kedai istri kedua dan seterusnya. Boleh jadi dalam perkara rasa, pun harga, mereka bersaing. Ungkapan lawas “harga melawan” bisa bersua makna dalam sekuel persuami-istrian.
Jika menyangkut nama anak, orang bilang itu harapan bahkan doa. Bisa juga kenangan terhadap peristiwa penting yang membarengi kelahiran sang bayi. Banyak sekali kisah tentang itu, dari orang ternama maupun terlebih-orang biasa.
Kalau nama usaha? Lebih luas tebaran tafsirnya. Bisa sekadar penegasan identitas diri si empunya toko maupun kedai. Misalnya warung Sate Pak Amat dan Gudeg Yu Semi. Di Pakem, Jogja, ada Warung Mbak Pesta, bermula dari pelesetan ejaan nama si empunya, dari Parti menjadi Party.
Akan tetapi ada pula yang berjenama Warung Makan Sederhana maupun Rumah Makan Sudi Mampir. Lalu ada juga Toko Pojok seperti di Jalan Pemotongan, Salatiga, Jateng, maupun penjahit Nur Cahaya seperti di area saya, Pondokmelati; serupa nama lahir Mulia Karim atau Luna Candra — seperti sama-sama redundan, padahal bisa saja nama terakhir adalah marga.

Ihwal Bini Partamo yang saya foto, entahlah bagaimana latar kisahnya. Di Pekanbaru, Riau, ternyata juga ada Bini Partamo. Tanpa bermaksud menyamakan, saya teringat Ayam Bakar Wong Solo yang dulu punya banyak cabang, antarkota antarprovinsi, milik Puspo Wardoyo (68). Dia pernah menggelar Polygamy Awards.
Jus Poligami racikan Puspo yang ada dalam menu kedai mungkin tak dipatenkan sehingga akhirnya menjadi nama jenis minuman, serupa Gillette yang setelah menjadi silet berarti nama benda — ya, demikian pula Elpiji, hasil pelafalan LPG, yang menjadi elpiji dalam KBBI. Di Cookpad ada resep jus poligami. Puspo, Ayam Bakar Wong Solo, dan poligami menjadi sepaket citra.
