Saya lupa sudah berapa tahun tidak ngemil manggleng — baca: mang-glèng. KBBI belum memuat camilan ini, namun Wikipedia Indonesia sudah.
Mengutip buku Kandungan Zat Gizi Makanan Khas Yogyakarta (Lily Arsanti Lestari, Fasty Arum Utami, 2014), Wikipedia memerikan manggleng sebagai
“… keripik berbahan singkong yang dikukus, dijemur, dan kemudian digoreng hingga renyah. Untuk menambahkan rasa, manggleng umumnya ditambah garam dan bawang, dan belakangan ini juga tersedia dalam beragam rasa lainnya, seperti pedas, keju, balado, dsb.”
Di lokapasar manggleng juga terjajakan. Artinya camilan lawas ini masih disukai. Orang Jawa juga menyebut manggleng sebagai balung kuwuk (tulang kucing hutan) dan balung kethèk (tulang monyet). Saya tak tahu mengapa penganan ini sampai dinamai demikian.
Masa kecil saya akrab dengan manggleng. Itu bagian dari variasi camilan sore hari saat Ibu membuatkan teh manis hangat untuk anak-anak. Setahu saya Ibu tak pernah membuat manggleng, sehingga saya menyimpulkan klethikan itu membeli.
Saya menduga pada zaman ekonomi susah, pasar camilan tetap bergerak. Ada saja rumah tangga yang membuat penganan dari singkong untuk dijual, dari criping ketela sampai manggleng untuk camilan kering, sedangkan untuk penganan basah yang tak awet ada bermacam getuk, tiwul, kue kacamata, sampai lemet dan bubur singkong.
Tentu banyak keluarga yang membuat aneka camilan sendiri untuk dikonsumsi keluarga. Mbah Putri dulu kadang membuat lemet. Saya berpengandaian, camilan yang bukan makanan utama — hanya untuk obah-obah janggut, kata simbah putri saya — adalah langkah maju dalam perdapuran. Manggleng termasuk itu, karena tidak untuk sarapan, makan siang, maupun makan malam. Adapun aneka bubur, termasuk yang berbahan singkong, bisa menjadi pengganti nasi untuk sarapan.
Saat pandemi lalu, bertebaran konten membuat camilan di rumah karena banyak orang hanya beraktivitas di rumah. Panduan berupa video juga bertebaran.
Saya tak tahu dalam sebuah masyarakat sederhana di hutan apa saja varian camilannya. Tetapi masa sih mereka hanya makan tiga kali sehari di luar makan buah hutan, padahal bahan pangan berlimpah, dan ekonomi pasar dengan pembedaan kerja belum kompleks? Antropolog dapat menjelaskan.
2 Comments
Waaa, enak banget ini manggleng, yang rasa orisinal. Seingat saya pertama kali makan keripik dalam bentuk manggleng ini pas kuliah di Depok, nemu di warung di Kampung Kukusan, tapi saya nggak tahu namanya. Tahunya ya keripik singkong gitu.. :))
Untung sekarang ada toko onlen, mau camilan khas daerah mana saja tersedia. Bisa gratis ongkir pulak ehehe..
Hidup manggleng! 👍😇