Seni rupa hajinguk!

Namanya juga seniman. Lebih bebas bicara. Termasuk misuh?

▒ Lama baca < 1 menit

Gambar tokoh hajinguk — Blogombal.com

Tadi saya tersedak karena tertawa saat membaca Kompas.id sembari ngopi dan ditemani rempeyek teri. Melihat foto ini saya membatin, “Ini mirip siapa ya?” Maksud saya wajah si mbakyu yang blur itu.

Intro dalam Galeri Foto: “Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran seni rupa Jinguk’i yang menjadi sarana kritik sekaligus katarsis seniman yang prihatin dengan kondisi bangsa.

Kapsi hasil jepretan Ferganata Indra Riatmoko menuturkan:

Bermacam karya perupa yang mengekspresikan kegelisahan mereka tentang kondisi masyarakat saat ini ditampilkan dalam pameran berjudul Jinguk’i di Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Senin (29/9/2025). Pameran yang menjadi bagian dari rangkaian peringatan HUT Ke-43 Bentara Budaya ini berlangsung hingga 4 Oktober 2025.

Gambar tokoh hajinguk — Blogombal.com

Sedangkan dalam versi koran Kompas hari ini (Selasa, 30/9/2025) juga ada berita tentang pameran tersebut. Kapsi versi foto berita tunggal dalam koran:

Bermacam karya perupa yang mengekspresikan kegelisahan mereka tentang kondisi masyarakat saat ini ditampilkan dalam pameran berjudul Jinguk’i di Bentara Budaya Yogyakarta, DI Yogyakarta, Senin (29/9/2025). Jinguk’i merupakan salah satu makian khas Yogyakarta dan dipilih sebagai judul pameran untuk mendorong seniman menyuarakan kritik mereka terhadap situasi negara belakangan ini. Pameran yang menjadi bagian dari rangkaian peringatan HUT ke-43 Bentara Budaya ini berlangsung hingga 4 Oktober 2025.

Weee lhaaa, ini Yoja tenan. Jogja banget. Jinguk adalah peringkasan untuk bajinguk, yang menjadi hajinguk, kata untuk menghaluskan bajingan. Versi lain adalah bajindhul dan bajigur, lalu menjadi hajindhul dan hajigur. Pada abad lalu Suara Karya pernah memuat strip komik Hajindul. Ada pula yang memelesetkan bajingan dan asu menjadi Barjiman Ngangsu.

Adapun Jinguk’i, yang menjadi tajuk pameran, adalah ungkapan dengan penekanan maksud. Bisa untuk bercanda maupun mengeluh.

Di negeri yang pemimpinnya saja di depan publik boleh menyebut ndasmu, apalagi seniman. Bukankah begitu, bukan? Mmm… gimana ya. Beda orang beda pandangan. Dalam sebuah keluarga yang orangtuanya merdeka mengumpat belum tentu membolehkan anaknya yang masih kecil mengucapkan makian yang sama untuk bapak dan ibunya.

Kembali ke dunia seni, penyair Darmanto Jatman (1942–2018), ketika masih bernama pena Darmanto Jt pernah menerbitkan antologi puisi Bangsat (1975) sehingga ada yang menjulukinya penyair bangsat. Butet Kartaredjasa (64) sejak muda gemar berucap huasuuu. Sujiwo Tejo (63) senang berjancuk, juga dalam menjuduli karya.

Lalu soal foto lukisan seorang pria sedang menuding itu bagaimana? Silakan baca ulang paragraf pertama. Menurut katalog pameran, karya Yuswantoro Adi ini berjudul Akan Saya Kejar! (Acrylic on paper, 100 x 100 cm, 2025), dengan keterangan, “Karya ini merepons pernyataan di berbagai media massa untuk mengejar para koruptor di manapun mereka berada.”

Gambar tokoh hajinguk — Blogombal.com

2 Comments

Junianto Selasa 30 September 2025 ~ 13.12 Reply

Jadi, si mbakyu itu mirip sinten?

Pemilik Blog Selasa 30 September 2025 ~ 16.02 Reply

Mirip si mbakyu dalam foto kedua. Bajunya sama, kan?

Tinggalkan Balasan