—
That’s one way to release a trapped bird. pic.twitter.com/pBTBN1H6wR
— HOW THINGS WORK (@HowThingsWork_) September 5, 2025
Apa pun yang akan terjadi dengan negeri ini mestinya saya bisa cuek. Hidup saya mungkin tak sampai 2045, saat Indonesia merayakan usia seabad. Saya nyinyir tentu tak mengubah keadaan. Yang saya lakukan hanya menuangkan isi benak dalam blog supaya lega. Ini alasan yang sangat egosentris, demi saya sendiri, karena saya nobody.
Bagaimana masa depan Indonesia untuk anak saya dan kelak mungkin cucu saya, biarlah mereka yang memutuskan, termasuk misalnya pindah ke negeri lain dengan segala risikonya. Sebuah negeri demokratis bisa salah urus karena rakyat, antara lain, salah pilih wakil dan pemimpin. Demokrasi memang punya sisi tragedi selain komedi.
Ada titik ketika saya harus menyeimbangkan diri, jangan cuma mengikuti berita politik padahal para-para sumber masalah tak peduli rakyat, bahkan mereka bisa kehabisan retorika untuk mencari pembenar — ya DPR, ya pemerintah.
Maka saya mencari selingan, membaca hal lain ditemani musik, dan juga melihat video pendek seputar satwa maupun dunia pertukangan dan industrial. Tetapi tak terhindarkan, pikiran bisa terbelokkan ke situasi negeri ini. Coba lihat contoh berikut ini.
Repairing a dripping tap 🚰
📽️MMplumber pic.twitter.com/S4QNAAjxpq— HOW THINGS WORK (@HowThingsWork_) September 5, 2025
Bagi saya, kalau keran saya rusak macam ini lebih baik menggantinya dengan yang baru, membeli yang kwalitet nomor dua atau tiga, atau malah lebih parah, tak masalah. Yang penting mengenyahkan yang lama. Nanti kalau rusak lagi, dan ada uang, beli yang bagus. Tentu saya pernah memperbaiki keran tanpa membeli suku cadang, hanya memanfaatkan sekrup bekas. Lalu di negeri ini, apa yang mesti diganti?
Satisfying wood smoothing process pic.twitter.com/7WEfoohYH2
— HOW THINGS WORK (@HowThingsWork_) September 5, 2025
Melihat ini saya berpikir apakah yang bengkok dari sononya bisa dibikin lempeng dengan memaksa? Tetapi apakah hanya lahiriah saja, karena urat di dalam ikut rusak? Tak apa, batang kayu sudah mati. Di republik ini, para-para bengkok siapa saja yang harus kita luruskan?
Harvesting inside a banana plantation 🍌 pic.twitter.com/hVfLRwmDbb
— HOW THINGS WORK (@HowThingsWork_) September 4, 2025
Melihat cara memanen pisang di perkebunan industrial ini, tetapi tanpa informasi lengkap, saya sempat menduga di wilayah tersebut tak ada ekosistem bisnis dan tradisi kuliner yang membutuhkan daun pisang untuk alas maupun bungkus makanan. Padahal dari Indonesia, orang sudah mengekspor daun pisang ke Jepun.
Oh, barangkali daun pisangnya tak layak untuk kebutuhan dapur maupun pakan ternak? Jika ya, apa boleh buat.
Akan tetapi saya membayangkan sebuah pola pikir demi uang dan manfaat ekonomi elitis, yang penting tujuan utama tercapai, yakni pisang dalam rupa lain, lantas sumber daya tersia-siakan dibuang saja.
Masih untung dalam video ini hanya menyangkut daun pisang, dan itu pun hanya asumsi saya. Seumpama batangnya pun tak termanfaatkan masih bisa diurai oleh alam dengan mudah.
Saya teringat bagaimana cara pemerintah membiarkan, bahkan merancang, eksploitasi alam tanpa berpikir panjang, dari memgonversi hutan lindung menjadi pertambangan tanpa menagih pemulihan, hingga monokultur kebun sawit untuk ekspor yang merusak keragaman hayati, bahkan pulau kecil pun dijadikan pertambangan legal.
Indonesia mau ke mana sih? Kagak ke mane-mane, kata orang di warung kopi pasar.
Lalu soal video pertama, paling atas, sebelum paragraf pertama itu bagaimana? Anda saja yang menafsirkan dan merenungkannya.
Salam.
2 Comments
Ada yang harus dihancurkan agar burung merpati lambang perdamaian itu bisa lepas dari kungkungan.
😇🙏🫣💐