Dari radio, kita juga butuh ocehan penyiar

Penyiar ceriwis berkepanjangan mengalahkan durasi lagu? Saya kesal. Tanpa suara orang? Garing.

▒ Lama baca 2 menit

Fadly Padi di laman berita Detik — Blogombal.com

Lho, ada Fadly dan Padi Reborn dalam berita politik? Saya menanya diri saat melihat tayangan pengaliran setelah penutup berita. Saya baru tahu ada video macam itu di Detik.

Video tersebut tertayangkan dalam laman berita penjelasan Pelaksana Ketua Umum PPAD Mayjen (Purn.) Komaruddin Simanjuntak, bahwa pernyataan sejumlah purnawirawan tentang pemakzulan wapres adalah pendapat pribadi.

Penontonnya saat itu sekitar 10.000-an. Sedikit untuk Detik. Namun konten tersebut, di induknya, harus berebut perhatian khalayak dengan konten lainnya. Bagi saya soal video musik dalam laman warta ini menarik, dan sudah semestinya bisa, karena Detik bagian dari grup media besar yang memiliki stasiun TV.

Memang sih pendapat saya bisa dibantah: tanpa memiliki stasiun, cukup kanal di YouTube, media berita lain juga dapat melakukan pengaliran serupa. Baiklah.

Lalu? Masih soal musik. Kebetulan tadi pagi saya ingin bicara hal lain, juga tentang pengaliran audio dan video. Tangkapan layar pun sudah saya buat. Maksud saya streaming. Belakangan saya malas menyetel Brava Radio di tablet karena dua hal.

Siaran Brava Radio tanpa penyiar maupun judul lagu — Blogombal.com

Pertama: isinya hanya lagu, tanpa disela suara penyiar. Kedua: dalam versi web maupun aplikasi Noice milik MRA Media, tak ada informasi judul lagu. Null, begitulah.

Nah, soal ketiadaan ocehan penyiar itu menyadarkan saya bahwa saya sulaya. Kalau penyiar terlalu ceriwis saya tak suka. Apalagi kalau dua penyiar pria ngobrol dan tarbahak-bahak untuk hal yang kelucuannya gagal saya cerna berarti saya harus gutbai.

Hal sama terjadi pada suara penyiar cewek yang saat ngobrol menurut kesan saya ngotot, demanding, bahkan intimidating, saya menjadi tak nyaman, sehingga saya segera pindah stasiun. Artinya gara-gara persepsi tentang suara, theater of mind saya menjadi kacau. Kasus ini sangat personal memang.

Tetapi kini setelah ada stasiun tanpa suara orang, saya merasa tak beda dari membiarkan Spotify bekerja dengan algoritmanya untuk melayani setiap pendengar. Tinggal pencet play sekali, seterusnya musik tak berhenti.

Padahal dulu saya cocok dengan Brava, selain karena musiknya juga penyiarnya di luar acara wawancara yang tertaja bisnis. Misalnya Farah Tubagus. Bahasa Indonesianya bagus, impromptu delivery-nya lancar. Okelah kalau Anda bilang selera saya selera orang tuwèk. Saya tak protes.

Demikian pula Uli Herdi, saya cocok. Vokalnya memberikan kesan dia muda dan bugar, tidak terengah saat ngoceh, tanpa perlu mencuri napas saat berbicara panjang dengan artikulasi dan intonasi yang tepat.

Meskipun selera saya tuwir tak berarti saya cocok dengan suara pria ngebas seperti bersila di bawah meja agar menghasilkan resonansi seolah berwibawa. Di Jakarta dulu ada stasiun radio yang begitu, namun tarif iklannya terkabarkan mahal.

Dalam rekaman auditif, kini semua gaya bisa dilakukan oleh AI. Tetapi dari radio saya butuh suasana orang berbicara langsung — lengkap dengan salah ucap yang kemudian dikoreksi dan selingan errr… atau emmm… untuk menemukan kata.

Radio tanpa suara penyiar berarti seperti saya dulu akhirnya jemu dengan pengaliran Radio Lintas Kota Gaplek, Wonogiri, Jateng. Suara orang hanya saat rekaman dakwah subuh, dan justru kadang saya simak. Dari Radio Swara Koncotani dan Swara Kenanga, Jogja, saya masih mendapatkan siaran berbahasa Jawa, dengan interaksi penyiar dan pendengar. Kadang dari Retjo Buntung juga.

Lalu sampai kapan radio bertahan selain dalam mobil pendengar? Dari sejumlah radio di daerah saya beroleh kesan radio untuk masyarakat tengah dan bawah masih menemani interaksi pendengar sambil memasak, menjahit, atau menunggui warung.

Demikian pula radio yang digemari pensiunan, bapak-bapak, untuk beropini topik aktual via telepon, dari olahraga sampai politik. Radio masih dibutuhkan.

Tetapi sehari tetap 24 jam. Siaran radio harus bersaing dengan siniar hasil rekaman, obrolan di WhatsApp, dan beraneka jenis konten video di aneka platform.

Siaran radio, apalagi TV, dengan frekuensi publik itu butuh biaya lebih mahal daripada via internet.

10 Comments

widodolestari Sabtu 3 Mei 2025 ~ 11.00 Reply

Di mulai waktu tinggal di BSD sudah mendengarka radio Swara Koncotani, terutama bila perbincangan dalam bahasa Jawa. Serasa di kampung, tak buru-buru.

Setelah pindah di kampung malah jadi jarang dengar Swara Koncotani. Mungkin sekarang swara konco tani didengar langsung tanpa lewat radio.

Pemilik Blog Sabtu 3 Mei 2025 ~ 13.15 Reply

Aha! Saya punya teman 👍👏💐
Belakangan saya jarang dengerin, lagi ambil jeda.
Dulu iklan dan telepon pendengar pun saya rekam 😅

Ahmad Sahidah Sabtu 3 Mei 2025 ~ 09.09 Reply

Saya sering mendengar radio “streaming”, Paman. Dengan membuka Sinar FM Kuala Lumpur atau RB FM Yogyakarta, saya bisa mengenang.

Pemilik Blog Sabtu 3 Mei 2025 ~ 09.20 Reply

Waaaaa negeri jiran tempat belajar dan mengajar tak mungkin terlupakan ya Cak 😇👍

Ahmad Sahidah Selasa 6 Mei 2025 ~ 14.37 Reply

Betul,Paman. Untung, ada radio “streaming”. Kadang saya membuka radio yang dipancarkan dari tempat yang saya akan kunjungi, misalnya Jakarta.

Pemilik Blog Selasa 6 Mei 2025 ~ 15.25

Saya dulu kalau perjalanan ke luar kota, di setiap kota ganti gelombang radio lokal. Tapi teman seperjalanan lebih suka kaset atau CD.

Juga dulu, tape recorder saya untuk wawancara ada radionya. Di kamar hotel saya pakai untuk menyetel radio, mematikan boks sepiker untuk musik dari hotel. Lha dulu di hotel bagus kan ada boks itu merangkap meja kecil di sebelah ranjang.

@sandalian Jumat 2 Mei 2025 ~ 08.27 Reply

Saya kembali mendengarkan radio di mobil gara-gara HP yang sekarang tidak dilengkapi colokan audio 3.5mm, sementara perangkat audio di mobil adalah perangkat jadul, belum mendukung teknologi bluetooth.

Saat masih menggunakan HP dengan colokan audio, kami lebih sering mendengarkan Spotify dengan mencolokkan kabel audio male to male ke perangkat di mobil.

Di rumah ada radio tetapi hanya bisa menangkap 1 stasiun saja, penyebabnya karena posisi rumah kami di semacam lembah.

Pemilik Blog Jumat 2 Mei 2025 ~ 10.00 Reply

Radio dengan AM apalagi FM memang merepotkan karena banyak kendala.
Di sisi lain gak semua stasiun radio memanfaatkan streaming padahal internet berpeluang membuang siarannya didengar di luar wilayah jangkauan siaran terrestrial model lama.

Audi Kamis 1 Mei 2025 ~ 07.54 Reply

Kalau ngomongin penyiar, saya suka dengan Doudy John Tatipang. Dia penyiar Radio Pensiunan. Latief Siregar juga bagus.

Dulu sewaktu mereka masih siaran di MNC Radio, topik panas bisa enak didengar dan tidak bikin esmosi pendengar.

Sampai sekarang saya masih mendengarkan radio. Tidak hanya saat di mobil.

Radio yang sering disetel kebanyakan radio daerah (Semarang, Surabaya, Jogja), dan radio streaming seperti Radio Pensiunan.

Entah kenapa kalau mendengar penyiar-penyiar Jakarta ngomong rasanya pengen langsung ganti frekuensi.

Pemilik Blog Jumat 2 Mei 2025 ~ 10.03 Reply

Yah setiap orang beda selera dan kebutuhan.
Tetapi untuk anak muda, tampaknya radio sudah kurang menariknya. Sama-sama dengerin orang ngobrol, mereka kebiasaan memilih podcast auditif dan drama di misal Spotify. Waktu untuk mendengar bisa memilih.

Tinggalkan Balasan